Dirut BEI Jelaskan Dampak 'Persepsi' ke Pertumbuhan Saham

6 Februari 2018 19:02 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Direktur Utama BEI Tito Sulistio. (Foto: Dewi Rachmat Kusuma/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Direktur Utama BEI Tito Sulistio. (Foto: Dewi Rachmat Kusuma/kumparan)
ADVERTISEMENT
Dirut Bursa Efek Indonesia (BEI) Tito Sulistio mengatakan, meski pasar saham mengalami penurunan namun posisi Indonesia masih baik. Dibanding negara lain, penurunan yang dialami Indonesia dalam beberapa hari terakhir ini masih relatif kecil.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan data per 5 Februari 2018, Indonesia mengalami pertumbuhan sebesar 1,28%. Angka ini menempatkan Indonesia di peringkat ketiga. Meski demikian, pertumbuhan ini masih kalah jika dibanding Hongkong yang tumbuh 2,46% dan China di posisi pertama dengan pertumbuhan 3,19%. Namun Indonesia masih lebih unggul dari Thailand dan Malaysia yang masing-masing tumbuh di bawah 0,5%.
Menurut Tito, tidak hanya di Indonesia, penurunan saat ini juga terjadi secara global. Menurut Tito penurunan ini terjadi karena adanya kekhawatiran atau persepsi terhadap ketidakpastian perekonomian di Amerika Serikat (AS). Sedangkan, faktor persepsi ternyata juga dapat memengaruhi saham.
Tito menjelaskan, pertumbuhan saham dapat dihitung dengan rumus 2E plus (Ekonomi dan Emiten) minus P (Persepsi).
"Itu 2E adalah ekonomi dan emiten, plus-minus P, itu persepsi. Ekonomi bagus, emiten bagus, berarti enggak ada masalah. Ekonomi jelek, emiten jelek, orang pada lari. P ini yang jadi pertanyaan," ungkap Tito di Gedung BEI, Selasa (6/2).
ADVERTISEMENT
Menurut dia, saat ini yang sedang menjadi persepsi alias sentimen global adalah diangkatnya Jeremy Powell sebagai Gubernur Federal Reserve yang baru. Pasalnya, investor menilai Powell akan menaikkan suku bunga lebih cepat dari perkiraan. Menurut Tito, Powell merupakan sosok penganut suku bunga rendah.
Akibatnya, yield obligasi US Treasury naik sekitar 2,7%. Bahkan pada Jumat (2/2) lalu naik menjadi 2,8%. Kenaikan yield tersebut, dipengaruhi oleh ekspektasi proyeksi ketakutan inflasi di AS, sejalan dengan dirilisnya data tenaga kerja dan kenaikan upah yang sama-sama menguat.
Tito menerangkan, jika tenaga kerja dan upah menguat maka akan terjadi inflasi. Kondisi ini dinilai berbahaya bagi pasar modal.
"Tapi kalau tenaga kerja turun, upah turun, spending turun, bahaya juga. Jadi kapan pasar modalnya bagus? Bottom line-nya ini lebih kepada persepsi," ujarnya.
ADVERTISEMENT
Untuk itu, sebagai peredam persepsi, Tito saat ini mengimbau para emiten untuk segera melaporkan keuangan mereka. Tito optimistis laporan para emiten akan menunjukkan hasil yang baik sehingga akan mengembalikan persepsi pasar. Harapannya, pasar saham Indonesia juga akan kembali ke zona hijau.