Ditekan Uni Eropa, Kenapa Industri Sawit RI Layak Diperjuangkan?

22 Agustus 2019 15:23 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi perkebunan kelapa sawit Foto: ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi perkebunan kelapa sawit Foto: ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi
ADVERTISEMENT
Industri kelapa sawit Indonesia berada dalam tekanan internasional semenjak Uni Eropa memberlakukan delegated regulation yang merupakan turunan dari Renewable Energy Directive II (RED II). Regulasi itu membuat kelapa sawit dianggap sebagai komoditas berisiko tinggi terhadap perusakan hutan atau deforestasi.
ADVERTISEMENT
RED II menetapkan tanaman untuk produksi biofuel di Eropa tak berasal dari wilayah deforestasi. Dengan aturan tersebut, pasokan ekspor produk sawit dari Indonesia ke Eropa akan dikurangi secara bertahap dan disetop total pada 2030 mendatang. Itu karena, sawit dianggap merusak lingkungan.
Foto udara menara pantau perkebunan sawit di Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah. Foto: Fitra Andrianto/kumparan
Kondisi ini menjadi perhatian banyak pihak di dalam negeri. Salah satunya, peserta Sekolah Dinas Luar Negeri (Sesdilu) Kementerian Luar Negeri angkatan ke-64. Para diplomat muda Indonesia itu dikhususkan memahami lebih dalam isu sawit. Yakni dengan terjun ke kebun sawit di Kabupaten Kotawaringin Barat, 12-16 Agustus 2019 lalu.
“Kami bisa berbicara dengan penuh keyakinan bahwa ini yang sudah Indonesia lakukan. Untuk memastikan apapun yang dikerjakan dalam memproduksi kelapa sawit juga memperhatikan konservasi lingkungan,” ujar Direktur Sesdilu Renata Siagian kepada kumparan, Senin (12/8).
Direktur Sesdilu, Renata Siagian (kanan) saat berbincang soal sawit. Foto: Fitra Andrianto/kumparan
Hal lain yang lebih serius adalah menyikapi diskriminasi sawit. Dalam hal ini, upaya Indonesia mempersiapkan gugatan melalui Badan Perdagangan Dunia atau WTO untuk menghapuskan diskriminasi ekspor sawit ke Eropa.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan data BPS dan Kementerian Perdagangan, ekspor minyak sawit ke Uni Eropa berada di urutan terbesar kedua setelah India. Tahun 2018 lalu Indonesia mengekspor 4,78 juta ton ke Uni Eropa. Sementara ke India mencapai 6,71 ton.
Wakil Sekretaris Jenderal Gabungan Asosiasi Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia atau Gapki, Agam Fatchurrochman, menjelaskan, ekspor sawit Indonesia ke Uni Eropa berkisar 9 hingga 10 persen dari total produksi nasional yang mencapai 47 juta ton.
“Jadi kalau yang bermasalah itu kira-kira yang 9 sampai 10 persen itu. Bisa mengganggu ekspor kita,” sebutnya.
Wasekjen GAPKI, Agam Fatchurrochman. Foto: Fitra Andrianto/kumparan
Agam menambahkan, ekspor ke Eropa yang terganggu menjadi salah satu faktor yang membuat harga sawit jatuh di pasar internasional. Sebab, potensi permintaan yang berkurang.
ADVERTISEMENT
Walau begitu, dia menganggap, dari sisi jumlah, pengurangan ekspor sawit ke Eropa ini masih tergolong kecil. Namun, sentimen buruk akibat kampanye hitamlah yang menyebabkan harga sawit makin anjlok.
Agam berpendapat, Eropa sebagai bagian dunia yang menjadi opinion maker dan trendsetter. Dengan begitu, ketika Eropa menganggap kelapa sawit tidak ramah lingkungan, maka dunia juga berpotensi punya anggapan serupa.
“Jadi ini masalah risiko reputasi (bisnis) sawit,” ujar dia.
Lahan perkebunan sawit di Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah. Foto: Fitra Andrianto/kumparan
Di luar persoalan lingkungan, Agam pun menduga adanya upaya perang dagang di balik kampanye Eropa melalui RED II. Dalam hal ini, terkait upaya Uni Eropa untuk memproteksi produk non-sawit seperti rapeseed, sun flower, maupun kedelai, agar bisa dijadikan sumber energi biofuel.
Dia memaparkan, berdasarkan data MPOC tahun 2017 pertumbuhan rapeseed untuk biodiesel hanya 11 persen pada periode 2011-2016. Sementara untuk rentang yang sama, penggunaan minyak sawit untuk biofuel di Eropa meningkat dari 1,43 ke 3,42 juta ton.
ADVERTISEMENT
“Pertumbuhan minyak sawit untuk biodiesel Eropa 143 persen. Mengkhawatirkan Uni Eropa,” paparnya.
Guru Besar Fakultas Kehutanan IPB Yanto Santosa menyebut, anggapan Eropa bahwa sawit menyebabkan deforestasi lebih ke persoalan definisi. Hal ini, terkait dengan definisi FAO (1990) yang menyatakan bahwa deforestasi merupakan kehilangan tutupan hutan (forest/land cover) baik yang permanen atau sementara.
Berbeda dengan Indonesia yang membedakan sejumlah jenis hutan. Yakni hutan primer dan sekunder yang menurut Yanto, perlu dipisahkan dari definisi deforestasi.
“Mereka mengatakan bahwa asal kebun sawit itu 76 persen dari hutan, artinya membuka hutan. Berbagai penelitian di kita, termasuk saya, ternyata kan dari hutan primer cuma 1-3 persen dan sekunder antara 20-25 persen,” ujar Yanto kepada kumparan.
Guru Besar Fakultas Kehutanan IPB, Yanto Santosa. Foto: Fitra Andrianto/kumparan
Selain itu, hal lain yang perlu dipahami komunitas internasional adalah pembedaan penguasaan hutan di Indonesia. Menurut Yanto, ada hutan lindung yang apabila ditebang bisa membuat penebangnya dihukum. Namun ada juga yang dalam penguasaan pihak lain, misalnya milik masyarakat.
ADVERTISEMENT
“Itu problem definisi asing yang dipakai di kita, lahan punya rakyat atau punya adat (yang ada pohonnya/tutupan lahan) semuanya disamakan hutan oleh mereka. Kita kan tidak,” papar Yanto.

Sawit Semakin Penting

Menyitir data yang dihimpun Gapki, sawit menyumbang sekitar 12-13 persen total ekspor komoditas selama rentang 2016-2018. Nilai ekspornya mencapai 20,2 miliar dolar AS atau sekitar Rp 300 triliun.
Devisa sawit versus neraca perdagangan. Foto: Agam Fatchurrochman/GAPKI
Dalam tabel terlampir terlihat bahwa tren pendapatan devisa dari minyak sawit cenderung stabil dibandingkan produk migas. Menurut Agam, hal itu membuat sawit semakin penting untuk diperhatikan. Apalagi, ketika devisa dari sektor migas makin menurun.
“Sementara untuk yang sawit masih naik. Jadi kalau tidak ada ekspor sawit dan turunannya memang account defisit kita akan tinggi sekali, makanya presiden beberapa tahun terakhir ini memang memberikan perhatian yang memang besar khususnya kepada sawit,” ujar Agam.
ADVERTISEMENT