news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Ekonom Kritik Revisi UU KPK: Utang Bengkak hingga Iklim Bisnis Rusak

20 Oktober 2019 12:41 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi KPK. Foto: Nugroho Sejati/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi KPK. Foto: Nugroho Sejati/kumparan
ADVERTISEMENT
Ratusan ekonom dari berbagai instansi membuat surat terbuka untuk Presiden Jokowi terkait berlakunya Undang Undang KPK yang baru pada Kamis (17/10). Sudah ada lebih dari 200 ekonom yang menandatangani surat terbuka tersebut, mulai dari Direktur Riset CORE Indonesia Piter Abdullah, Lincolin Arsyad dari UGM, hingga Ekonom Senior UI Faisal Basri.
ADVERTISEMENT
Para ahli ekonomi melakukan studi sampai telaah literatur dalam permasalahan ini. Menurut mereka, revisi UU KPK membuat korupsi semakin marak sehingga berdampak pada terhambatnya investasi sampai menciptakan instabilitas ekonomi makro.
"Hasil telaah literatur yang kami lakukan menunjukkan: a) korupsi menghambat investasi dan mengganggu kemudahan berinvestasi; b) korupsi memperburuk ketimpangan pendapatan; c) korupsi melemahkan pemerintahan dalam wujud pelemahan kapasitas fiskal dan kapasitas legal; d) korupsi menciptakan instabilitas ekonomi makro karena utang eksternal cenderung lebih tinggi daripada penanaman modal asing,” demikian bunyi penggalan poin surat yang dikirimkan ekonom ke Jokowi.
Atas berbagai dasar tersebut, para ekonom sebenarnya menginginkan Jokowi mengeluarkan Perppu. Namun, belum ada tanda-tanda Jokowi menerbitkan Perppu.
Berikut kumparan merangkum pendapat para ekonom soal dampak pelemahan KPK, Minggu (20/10):
ADVERTISEMENT
1. Iklim Investasi Rusak
Direktur Riset Center of Reform (CORE) Indonesia, Pieter Abdullah, mengatakan bahwa revisi UU KPK mengurangi kredibilitas investor kepada Indonesia.
“Revisi (UU KPK) harus dibatalkan Perppu. KPK sudah sangat positif (mendukung) masuknya investasi kepada kita. Korupsi sebagai oli pelancar investasi itu logika yang sesat. Dan itu tidak didukung fakta-fakta,” ujarnya saat melakukan konpers di Hotel Mercure, Jakarta Selatan, Jumat (18/10).
Ilustrasi KPK tamat. Foto: Indra Fauzi/kumparan
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Enny Sri Hartati menambahkan, salah satu yang membuat investor enggan menanamkan investasi ke Indonesia adalah soal kepastian hukum.
“Salah satu yang membuat investor enggan menanamkan modalnya karena kepastian hukum. Termasuk soal korupsi dan abuse of power. Ini mengapa investor yang hengkang dari China beberapa waktu lalu lebih memilih negara lain untuk menaruh dananya,” katanya.
ADVERTISEMENT
2. Negara Rugi Rp 203,9 Triliun Akibat Korupsi
Tim Peneliti dan Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (UGM) mengungkapkan, sepanjang 2001-2015 negara kehilangan Rp 203,9 triliun akibat korupsi.
Salah seorang peneliti dan Dosen FEB Universitas Gajah Mada, Rimawan Pradiptyo, mengatakan angka tersebut merupakan hasil kajian data yang dilakukan timnya.
"Kerugian negara yang diakibatkan korupsi sepanjang 2001-2015 Rp 203,9 triliun," kata Rimawan dalam konferensi pers di Hotel Mercure, Jakarta, Jumat (18/10).
Susana konferensi pers ekonom desak presiden terbitkan Perpu KPK di Hotel Mercure, Jakarta, Jumat (18/10). Foto: Abdul Latif/kumparan
Rimawan mengatakan, dari jumlah kerugian yang besar itu, denda yang dilakukan kepada koruptor secara akumulasi hanya senilai Rp 21 triliun.
"Kami punya database korupsi. kemudian uangnya yang di-punish Rp 21 triliun. Tapi itu jangan salahkan KPK-nya, salahkan keputusan hakim," katanya.
ADVERTISEMENT
Dia berharap dengan temuan tersebut pemerintah akan menjaga kekuatan KPK dalam menindak praktik korupsi. Caranya dengan memperkuat kelembagaan antirasuah tersebut, bukan malah melemahkan.
3. Ekonomi Indonesia Mundur ke 'Zaman Kegelapan'
Para ekonom berpandangan, pemberlakuan UU KPK yang baru merupakan kemunduran bagi ekonomi Indonesia. UU hasil revisi ini justru berdampak buruk bagi iklim investasi di Indonesia. Bahkan, dapat berdampak kepada pendapatan orang sehari-hari.
"Pelemahan (KPK) seperti ini dampaknya akan sangat buruk bagi perekonomian. Kita akan kembali pada zaman kegelapan. Korupsi menyebabkan ketimpangan pendapatan, korupsi melemahkan kapasitas pemerintah," tutur Rimawan Pradiptyo.
"Begitu penindakan (terhadap korupsi) berkurang, kredibilitas pencegahan turun, efisiensi ekonomi akan turun," ia menambahkan.
Menurutnya, dampak terbesar dari revisi UU KPK tersebut justru bukan pada KPK. Namun, rakyat dan pemerintah lah yang paling merasakannya.
ADVERTISEMENT
"Pelemahan yang terjadi pada KPK, pelemahan penindakan dan pencegahan korupsi mudaratnya pada DPR, pemerintah dan pada kita sendiri sebagai rakyat," ucap Rimawan.
4. Utang Membengkak dan Ekonomi Rapuh
Perekonomian domestik dinilai akan semakin suram jika pemberantasan korupsi mengalami kemunduran. Hal tersebut disampaikan Ekonomi Senior, Faisal Basri.
Faisal mengatakan, koruptor menginginkan hasil yang cepat dengan memanfaatkan segala cara. Menurut dia, segala sumber daya di Indonesia akan diraup tanpa tanggung jawab.
"Mereka inginkan meraup segala sumber daya secepat-cepatnya dan sebanyak mungkin, untuk memperkokoh cengkeraman politiknya lebih memperbesar kekuatan logistik," katanya.
Tak hanya itu, pertumbuhan ekonomi akan terus mandek di kisaran 5 persen dengan pelemahan KPK. Investasi yang masuk juga tak akan sebanyak dana yang keluar. Akibatnya, utang akan semakin membengkak. Sementara penerimaan negara juga tak akan maksimal.
Ekonom Senior, Faisal Basri saat ditemui di Tjikini Lima, Selasa (15/10). Foto: Abdul Latif/kumparan
Total utang pemerintah pusat per Agustus 2019 mencapai Rp 4.680,19 triliun, naik 7,3 persen dibanding Agustus 2018 yang sebesar Rp 4.363,19 triliun.
ADVERTISEMENT
Rasio utang pemerintah pusat hingga akhir Agustus 2019 sebesar 29,8 persen terhadap produk domestik bruto (PDB). Rasio ini meningkat dibandingkan bulan sebelumnya yang hanya 29,5 persen per PDB.
"Kemampuan negara, pemerintah, dunia usaha, dan sektor keuangan, khususnya untuk membiayai, kemampuan untuk membiayainya merayap. Untuk memacu pertumbuhan, tak ada pilihan lain kecuali berutang. Policy utang atau dana luar negeri semakin besar," kata dia.
Faisal mengatakan, penerimaan pajak yang tak maksimal itu bukan karena potensi pajak yang rendah, melainkan kasus penggelapan pajak yang merajalela.
"Ini membuat kita semakin kekurangan darah segar untuk menggerakkan pembangunan," ujarnya.