news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Ekspor Indonesia ke Eropa Terancam Anjlok

9 Januari 2017 10:42 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Aktivitas bongkar muat di Tanjung Priok. (Foto: Dok.priokport.co.id)
Kebijakan Parlemen Eropa dan European Council yang menyetujui proposal kebijakan trade remedy atau instrumen perlindungan perdagangan dinilai akan mengancam ekspor Indonesia ke Uni Eropa. Sebab, kebijakan tersebut berpotensi menghambat laju impor semua negara di Uni Eropa melalui tindakan antidumping dan antisubsidi.
ADVERTISEMENT
“Pemerintah mewaspadai hasil persetujuan parlemen Eropa. Penerapan modernisasi trade remedyini bisa menghambat laju ekspor Indonesia ke Uni Eropa,” kata Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan, Dody Edward, melalui siaran persnya, Senin, (9/1).
Parlemen Eropa dan European Councilmenyetujui proposal modernisasi kebijakan trade remedy pada 13 Desember 2016 setelah diusulkan Komisi Uni Eropa sejak 2013. Proposal itu dilatarbelakangi semakin tingginya serbuan produk murah asal China, seperti produk baja. Akibatnya industri domestik Uni Eropa kalah bersaing dan gulung tikar.
Uni Eropa juga mengacu kepada Amerika Serikat yang telah menerapkan praktik serupa dalam aturannya. Menurut Dody, Komisi Uni Eropa antara lain akan menghapus aturan lesser duty. Aturan tersebut memungkinkan pengenaan tingkat bea masuk antidumping dengan besaran (level) yang lebih kecil dari margin dumping yang ada untuk memulihkan kerugian industri domestik sebagai akibat impor produk dumping.
ADVERTISEMENT
Aturan lesser duty memungkinkan pengenaan tingkat bea masuk antidumping dengan besaran (level) yang lebih kecil dari margin dumping yang ada. Kebijakan tersebut bisa terus diberlakukan sepanjang besarannya dianggap proporsional untuk memulihkan kerugian industri domestik sebagai akibat impor produk dumping.
Dody mengatakan, aturan lesser duty dihilangkan terutama untuk menghadang impor dari negara yang dianggap memiliki particular market situation yang mendistorsi harga bahan baku. “Negara berkembang seperti Indonesia perlu berhati-hati dan mengantisipasi seandainya Indonesia dianggap memiliki particular market situation,” kata Dody.
Menurut Dody, kondisi particular market situation di suatu negara bisa dilihat dengan dominannya peran pemerintah atau Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dalam pengadaan barang dan jasa, pengendalian harga, pemberian jenis subsidi yang dilarang, kebijakan harga berganda (dual pricing), dan pajak ekspor.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, Direktur Pengamanan Perdagangan Kementerian Perdagangan, Pradnyawati, mengatakan produk unggulan Indonesia sebelumnya juga telah dirugikan oleh aturan serupa yang berlaku di Amerika. Salah satunya adalah produk kertas. Hal itu disebabkan kebijakan kehutanan Indonesia dan larangan ekspor kayu bulat untuk menekan harga kayu sebagai bahan baku kertas.
“Hal ini membuat Otoritas AS menentukan besaran dumping menggunakan harga kayu di negara lain sebagai pembanding yang notabene harganya jauh lebih tinggi,” katanya.
Jika Uni Eropa menerapkan hal serupa, kata Pradnyawati, maka tuduhan antidumping dan antisubsidi terhadap produk unggulan Indonesia akan semakin gencar karena baik Uni Eropa maupun Amerika merupakan pengguna aktif instrumen trade remedy. “Uni Eropa merupakan pasar strategis bagi produk ekspor Indonesia, seperti produk agro (kelapa sawit dan turunannya), produk perikanan, serta produk hasil kehutanan seperti pulp dan kertas,” katanya.
ADVERTISEMENT