Ekspor Minyak Sawit Indonesia Kembali Bergeliat

28 Agustus 2018 13:24 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pekerja memuat kelapa sawit ke dalam truk (Foto: AFP PHOTO / MOHD RASFAN)
zoom-in-whitePerbesar
Pekerja memuat kelapa sawit ke dalam truk (Foto: AFP PHOTO / MOHD RASFAN)
ADVERTISEMENT
Industri minyak kelapa sawit Indonesia kembali mendapatkan ritmenya di pasar minyak nabati global. Industri ini menemukan kembali iramanya terutama di pasar India yang selama ini merupakan negara tujuan utama ekspor minyak sawit Indonesia.
ADVERTISEMENT
Sepanjang Juli 2018, volume ekspor minyak sawit Indonesia (CPO, PKO dan turunannya), oleochemical dan biodiesel membukukan rekor tertinggi sepanjang sejarah ekspor bulanan Indonesia yaitu 3,22 juta ton atau naik 27 persen dibandingkan dengan ekspor Juli 2017 sebesar 2,54 juta ton. Khusus untuk minyak sawit (CPO, PKO dan turunannya) juga merupakan volume ekspor tertinggi sepanjang tahun 2018.
Faktor pendorong utama menggeliatnya pasar minyak sawit Indonesia adalah harga minyak sawit yang sedang murah, India yang kembali membeli minyak sawit sebagai akibat dari regulasi baru yang menaikkan bea masuk untuk impor minyak nabati lainnya termasuk kedelai, bunga matahari dan rapeseed, serta China yang mulai tertarik dengan biodiesel Indonesia.
Sementara itu secara year on year, capaian kinerja ekspor minyak sawit Indonesia dan industri hilirnya (biodiesel dan oleochemical) hanya mampu naik 2 persen sampai pada Juli 2018 ini dibandingkan periode tahun lalu. Volume ekspor Januari – Juli 2017 mencapai 18,15 juta ton, pada periode yang sama 2018 naik menjadi 18,52 juta ton.
ADVERTISEMENT
Di sisi produksi, sepanjang bulan Juli 2018 produksi diprediksi mencapai 4,28 juta ton. Ini juga merupakan rekor tertinggi produksi CPO and PKO sejak tahun 2015. Cuaca yang mendukung dan pengaruh El Nino dari dua tahun lalu sudah tidak ada serta meningkatnya luas tanaman menghasilkan mendorong meningkatnya produksi tandan buah sawit (TBS).
Buruh memanen kelapa sawit di Desa Sukasirna, Cibadak, Kabupaten Sukabumi. (Foto: ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi)
zoom-in-whitePerbesar
Buruh memanen kelapa sawit di Desa Sukasirna, Cibadak, Kabupaten Sukabumi. (Foto: ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi)
Riak pasar minyak nabati pada bulan Juli 2018 ini cukup menarik untuk dibahas. Perang dagang antara Amerika Serikat dan China cukup mempengaruhi pasar. Tidak puas berselisih dengan China, AS kembali mengalami perselisihan dagang dengan India, dimana AS menaikkan tarif impor yang lebih tinggi aluminium dan baja dari India. India merespon dengan mengajukan keberatan kepada WTO dengan menyertakan daftar produk yang akan menjadi subyek retaliasi dari pajak bea masuk. Daftar produk yang diajukan India antara lain gandum, minyak kedelai mentah dan refined palm olein.
ADVERTISEMENT
Perang dagang China dan AS telah menyebabkan minyak kedelai jatuh di pasar global karena China mengurangi pembelian kedelai. Sementara itu India menahan pembelian minyak kedelai mentah dari AS.
"India yang semula telah mengurangi pembelian minyak sawit dari Indonesia, pada Juli ini kembali menggenjot pembeliannya hingga mencapai 652,73 ribu ton. Ini merupakan pembelian tertinggi sepanjang tahun 2018. Bea masuk yang tinggi sudah tidak menjadi faktor penghambat lagi karena pada awal Juli lalu India juga menaikkan tarif bea masuk untuk kedelai, rapeseed, bunga matahari dan kacang tanah," demikian bunyi keterangan tertulis Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) yang diterima kumparan, Selasa (28/8).
Harga yang lebih murah dan perselisihan dagang India dengan AS, serta kebutuhan di dalam negeri yang harus dipenuhi memacu India menggenjot pembelian minyak sawit dari Indonesia mencapai 40 persen lebih tinggi dibandingkan dengan bulan sebelumnya. Beralih ke China, sepanjang Juli Negeri Tembok Raksasa ini membukukan impor minyak sawit (CPO, PKO dan produk turunannya) dari Indonesia naik sebesar 6 persen, atau dari 330,43 ribu ton pada Juni lalu meningkat menjadi 350,12 ribu ton di Juli.
ADVERTISEMENT
Hal yang cukup menarik dari Negeri Tirai Bambu selama dua bulan terakhir ini adalah pasar biodiesel yang mulai bergeliat. Menurut catatan GAPKI pada Juni lalu untuk pertama kalinya China membeli biodiesel berbasis sawit dari Indonesia sebesar 185 ribu ton. Pada Juli ini permintaan meningkat menjadi 210 ribu ton. China mulai mempromosikan penggunaan biofuel dalam rangka mengurangi emisi. Sebelumnya pilot project, penggunaan biodiesel berbasis bioethanol di Shanghai telah dilaksanakan dan menjadi perangsang bagi daerah lainnya.
Ke depan Pemerintah China mempunyai peluang besar untuk membuat regulasi penggunaan bahan bakar nabati menjadi mandatori. Pasalnya bulan Mei lalu Menteri Perlindungan Lingkungan memberikan statement kepada media bahwa pemerintah akan memberlakukan batas emisi lebih ketat lagi untuk kendaraan bermotor. Kabar ini tentunya merupakan berita baik dan peluang bagi biofuel berbasis sawit untuk meramaikan pasar bahan bakar nabati di Negeri Panda ini.
ADVERTISEMENT
Negara lain yang turut meningkatkan impor minyak sawitnya dari Indonesia pada Juli ini adalah Afrika dan Bangladesh yang secara persentase membukukan kenaikan yang sangat signifikan, masing-masing 137 persen dan 86 persen. Volume ekspor ke negara Afrika pada Juni lalu hanya mampu mencapai 96,07 ribu ton, di Juli meningkat menjadi 227,63 ribu ton.
Peningkatan ini merupakan peningkatan yang cukup normal karena dipicu oleh harga minyak sawit yang sedang rendah dan rata-rata permintaan pada bulan-bulan sebelumnya ada pada kisaran 150-200 ribu ton per bulan. Sementara Bangladesh juga mengikuti pola yang hampir sama dengan Afrika.
Di sisi lain, beberapa negara tujuan utama ekspor minyak sawit Indonesia mengalami penurunan seperti Pakistan, Amerika Serikat dan Uni Eropa. Pakistan pada Juli membukukan penurunan 20 persen impornya atau dari 215,29 ribu ton turun menjadi 171,20 ribu ton. Biasanya pada saat harga minyak sawit murah Pakistan akan membeli sebanyak-banyaknya akan tetapi tidak untuk masa ini karena Pakistan sedang dilanda permasalahan ekonomi yang diambang krisis karena defisit neraca perdagangan yang sangat besar.
Pekerja membawa kelapa sawit (Foto: AFP PHOTO / Adek Berry)
zoom-in-whitePerbesar
Pekerja membawa kelapa sawit (Foto: AFP PHOTO / Adek Berry)
Sementara AS mengurangi impor minyak sawit karena stok kedelai yang tinggi. Meskipun kekeringan melanda daerah penghasil rapeseed dan bunga matahari di Uni Eropa, negara Benua Biru ini tidak menaikan impor minyak sawitnya akan tetapi lebih membeli kedelai yang harganya juga sedang jatuh.
ADVERTISEMENT
Bergeser ke harga, sepanjang Juli 2018 harga bergerak di kisaran USD 567.50-USD 610 per metrik ton, dengan harga rata-rata USD 587.4 per metrik ton. Harga CPO global terus tertekan karena hanya minyak nabati lain yang sedang jatuh dan meningkatnya stok minyak sawit di Indonesia dan Malaysia.
Produksi CPO dan PKO pada Juli 2018 diperkirakan naik 8,5 persen dibanding bulan sebelumnya atau dari 3,95 juta ton naik menjadi 4, 28 juta ton. Meskipun bulan Juli ekspor meningkat cukup signifikan, namun belum mampu menurunkan stok karena produksi yang meningkat. Stok minyak sawit terus menunjukan tren naik dan mencapai angka tertinggi pada Juli ini di 4,9 juta ton.
Dorongan untuk meningkatkan konsumsi dalam negeri terus digalakkan oleh pemerintah melalui perluasan pelaksanaan mandatori B20 yang sedang bergulir. Program mandatori B20 perlu terus untuk didorong dan didukung termasuk penerapan untuk B30 karena akan sangat berperan dalam pengurangan belanja impor solar sehingga neraca perdagangan sampai pada Juli 2018 yang masih defisit dapat sehat kembali. Selain itu mandatori B20 akan membantu menaikkan harga CPO karena pasokan ke pasar global yang berkurang dan diharapkan dapat mendongkrak harga TBS.
ADVERTISEMENT