Emirat hingga Swiss Tak Lagi Jadi Suaka Pajak, Apa Untungnya Buat RI?

13 Oktober 2019 8:29 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Metro Dubai di Dubai, Uni Emirat Arab Foto: Flickr/Stefan Wisselink
zoom-in-whitePerbesar
Metro Dubai di Dubai, Uni Emirat Arab Foto: Flickr/Stefan Wisselink
ADVERTISEMENT
Para menteri keuangan Uni Eropa sepakat untuk menghapus beberapa negara yang selama ini menjadi negara suaka pajak (tax haven). Ada tiga negara yang dikeluarkan dari daftar yakni Uni Emirat Arab, Swiss, dan Mauritius.
ADVERTISEMENT
Langkah tersebut dinilai sebagai ‘bersih-bersih’ dari aktivitas pengemplang pajak. Para menteri keuangan Uni Eropa yang terdiri dari 28 negara itu seperti dilansir dari Reuters, Sabtu (12/10) mengungkapkan, telah terjadi penghindaran pajak yang lebih luas, baik oleh perusahaan maupun wajib pajak tajir ke negara-negara suaka pajak.
Tak hanya itu, ketiga negara suaka yang dicabut itu karena selama ini menghadapi reputasi buruk dan mendapat pengawasan yang ketat dari Uni Eropa. Uni Emirat dinilai gagal bekerja sama dengan mereka mengenai masalah pajak. Selain itu, adanya aturan baru yang diterbitkan Uni Emirat terkait struktur offshore, yang merilis daftar praktik pajak perusahaan. Padahal, negara ini sebelumnya tidak memungut pajak perusahaan.
Sementara untuk Swiss, negara ini dihapus dari daftar suaka pajak karena memiliki komitmen untuk mengubah aturan pajak dengan standar yang diterapkan Uni Eropa. Meski telah dihapus dari negara suaka paja, Uni Emirat dan Swiss dinilai akan tetap menawarkan ‘manisan’ untuk perusahaan maupun wajib pajak kaya pengemplang pajak.
ADVERTISEMENT
Apa Untungnya Bagi Indonesia?
Pengamat Perpajakan Danny Darusallam Tax Center (DDTC) Bawono Kristiaji mengatakan, pencabutan daftar hitam negara tersebut dari suaka pajak Uni Eropa sebenarnya tidak berpengaruh signifikan bagi penerimaan Indonesia. Namun hal ini membuat transparansi global semakin meningkat.
“Dengan dicabutnya status blacklist tersebut, justru Swiss dan Uni Emirat Arab kini dianggap sudah transparan. Dan mungkin justru semakin banyak dana investor Uni Eropa yang kembali ke sana,” ujar Bawono kepada kumparan.
Dengan transparansi yang semakin meningkat tersebut, kemungkinan gerak pengemplang pajak tak lagi sebebas sebelumnya. Apalagi di Indonesia saat ini terus menjalin kerja sama pertukaran informasi untuk kepentingan perpajakan dengan sejumlah negara, termasuk dengan Swiss yang telah dilakukan sejak Februari 2019.
ADVERTISEMENT
“Bagi Indonesia justru kini yang terpenting adalah semakin banyak negara yang kerja sama dalam pertukaran informasi dan transparansi. Dengan demikian, di mana pun dana ditempatkan maka akan terdeteksi, makin sulit berulah,” jelasnya.
Uni Emirat Arab maupun Swiss sebenarnya memang bukan merupakan negara utama para wajib pajak Indonesia menyimpan dana. Dari hasil tax amnesty atau pengampunan pajak saja, kedua negara tersebut tak masuk dalam peringkat lima besar.
Berdasarkan data Ditjen Pajak Kementerian Keuangan (Kemenkeu), dana Rp 146,7 triliun yang berhasil dibawa masuk ke Indonesia (repatriasi) pada program tax amnesty, didominasi oleh enam negara, yaitu Singapura mencapai Rp 84,52 triliun, Caymand Island Rp 16,51 triliun, Hong Kong Rp 16,28 triliun, Virgin Island Rp 6,58 triliun, dan China Rp 3,65 triliun.
ADVERTISEMENT