Faisal Basri Beda Hitungan dengan Prabowo: Anggaran Bocor Rp 241 T

13 Februari 2019 11:56 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
 Faisal Basri di Gedung Bursa Efek Indonesia Foto: Ela Nurlaela/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Faisal Basri di Gedung Bursa Efek Indonesia Foto: Ela Nurlaela/kumparan
ADVERTISEMENT
Ekonom Senior Faisal Basri menghitung kebocoran anggaran yang ditaksir mencapai Rp 241 triliun. Angka itu berbeda dengan hitungan Calon Presiden nomor urut 02, Prabowo Subianto, yang menyebut anggaran negara bocor 25 persen atau sekitar Rp 500 triliun.
ADVERTISEMENT
Sebelumnya Prabowo menyebut kebocoran tersebut berasal dari maraknya praktik penggelembungan dana atau markup di sejumlah proyek. Faisal pun menghitung kebocoran melalui belanja negara, baik melalui pos belanja pemerintah maupun transfer ke daerah dan dana desa.
"Angka kebocoran versi sangat sederhana dan sangat kasar itu tak sampai separuh dari yang disinyalir Capres Nomor 2," ujar Faisal dalam laman pribadinya, faisalbasri.com, Rabu (13/2).
Untuk menghitung kebocoran tersebut, Faisal menggunakan asumsi pada APBN 2017 sebesar Rp 2.007 triliun.
"APBN 2018 naik menjadi Rp 2.217 triliun dan APBN 2019 naik lagi menjadi Rp 2.461 triliun. Beberapa pemberitaan menyebutkan kebocoran Rp 500 triliun setara dengan 25 persen anggaran. Jadi, kita ambil saja APBN 2017 sebagai patokan," tulisnya.
ADVERTISEMENT
Faisal menyebut, definisi bocor memiliki arti yang cukup luas. Banyak kajian lintas negara maupun khusus Indonesia tentang underground economy atau sejenisnya yang luput dari statistik resmi. Yang luput itu boleh saja dikatakan bocor (leakage).
Berbagai kajian lintas negara menujukkan Indonesia tidak tergolong yang paling parah atau parah. Faisal pun membeberkan data dari Schneider, Buehn, dan Montnegro pada 2010 tentang Kajian Lintas Negara.
Hasilnya, dari 88 negara berkembang selama 1999-2007, Indonesia menempati posisi nomor 11 atau 19,5 persen dari kegiatan ekonomi yang tak terlihat atau shadow economy. Adapun rata-rata dari 88 negara tersebut mencapai 34,2-36,2 persen.
Faisal mengibaratkan bocor sebagai sebuah ember berlubang yang di dalamnya terdapat air. Jika tidak ditambal akan mengakibatkan air yang ada di dalam ember habis.
ADVERTISEMENT
"Katakanlah ember itu adalah APBN. Sejauh yang saya pahami, kebocoran mengacu pada pos pengeluaran atau belanja. Pada APBN 2017 belanja keseluruhan berjumlah Rp 2.700,4 triliun," katanya.
Bocor tersebut bisa dalam berbagai bentuk, mulai dari dana yang dibelanjakan tak sebesar yang dianggarkan, selisih yang dikorupsi dengan segala tipu daya. Bisa pula seluruh dana dibelanjakan sesuai peruntukan, tapi hasilnya tidak sesuai target atau inefisiensi.
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) memiliki kewenangan untuk melakukan berbagai jenis audit. BPK bisa memilih sampel beberapa pos pengeluaran. Jika dibutuhkan, DPR berwenang untuk menugaskan BPK melakukan audit khusus.
"Jadi ada cara untuk mengetahui seberapa jauh kebocoran, asal ada kemauan politik dari DPR, termasuk dari Fraksi Partai Gerindra yang ketua umumnya Prabowo Subianto sendiri. Tanpa upaya serius dan sistematis, kita hanya bisa mereka-reka berdasarkan data sekunder yang tersedia," kata Faisal.
ADVERTISEMENT
Kebocoran juga bisa terjadi di berbagai tingkatan: pemerintah pusat, pemerintah daerah (provinsi/kabupaten/kota) dan pemerintahan desa. "Saya tidak memiliki pijakan kuat untuk menduga-duga tingkat kebocoran di daerah. Yang bisa kita lakukan adalah dengan mencermati alokasi dan jenis pengeluaran untuk pos Transfer ke Daerah dan Dana Desa.”
Pada APBN 2017 pos Transfer Daerah dan Dana Desa berjumlah Rp 742 triliun atau 37 persen dari belanja negara. Kebanyakan dana ke daerah berupa gaji pegawai lewat pos Dana Perimbangan yang menyedot 96 persen dari dana Transfer ke Daerah.
"Dengan demikian obyek yang berpotensi bocor relatif sangat kecil. Katakanlah 10 persen dari Transfer ke daerah masih bocor, berarti sekitar Rp 68 triliun," tulisnya.
Untuk Dana Desa yang relatif baru dan masih mencari bentuk optimalnya, serta dengan pertimbangan sumber daya manusia yang terbatas di desa, Faisal memperkirakan kebocorannya 50 persen atau sekitar Rp 30 triliun.
ADVERTISEMENT
Berarti, kebocoran total di tingkat daerah berjumlah Rp 98 triliun (Rp 68 triliun ditambah Rp 30 triliun).
Sementara di tingkat pemerintah pusat, belanja meliputi belanja kementerian dan lembaga (K/L) dan non-K/L. Untuk memudahkan perhitungan, Faisal menggunakan belanja pemerintah pusat berdasarkan jenis.
Belanja pegawai dan pembayaran bunga utang hampir pasti tidak ada kebocoran. Kedua jenis belanja itu menyedot 41,8 persen belanja pemerintah pusat.
Kehadiran Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) akan lebih mempersulit kongkalikong pengadaan barang dan jasa pemerintah, termasuk belanja modal. Keberadaan KPK juga mempersempit manuver penggelembungan harga, praktik kolusi dan korupsi.
Prabowo. Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
Katakanlah masih ada kebocoran sebesar 20 persen. Maka nilai kebocoran dari belanja barang dan belanja modal sekitar Rp 100 triliun.
ADVERTISEMENT
Untuk subsidi, pembayaranya ke Pertamina, PLN, pabrik pupuk milik negara, dan sebagainya sangat ketat, tak akan dicairkan oleh Kementerian Keuangan tanpa audit BPK. Andaikan masih ada kebocoran 5 persen, berarti sekitar Rp 8 triliun.
"Yang mungkin lebih banyak dicurigai adalah pos bantuan sosial, hibah, dan belanja lainnya. Kasarnya, katakanlah ketiga jenis belanja terakhir ini bocor 50 persen atau sekitar Rp 35 triliun," tuturnya.
Kebocoran total di tingkat pemerintah pusat adalah Rp 100 triliun + Rp 8 triliun + Rp 35 triliun = Rp 143 triliun.
Bila ditotal dengan estimasi kebocoran di tingkat daerah yang sebesar Rp 98 triliun, maka tingkat kebocoran total sebesar Rp 241 triliun.
"Akhirnya kita memiliki perkiraan kebocoran total dengan perhitungan yang teramat sangat sederhana, yaitu: di tingkat daerah senilai Rp 98 triliun ditambah di tingkat pemerintah pusat senilai Rp143 triliun, sehingga bocor total Rp 241 triliun," kata Faisal.
ADVERTISEMENT
Bisa pula kita mengestimasi potensi “kebocoran” dari sisi penerimaan negara perhitungannya tentu berbeda. Kebocoran dari sisi penerimaan tidak seperti air di dalam ember, karena airnya belum masuk.
"Lebih pas kalau dikatakan potensi yang belum terealisasi atau ada yang 'ditilep' oleh aparat pajak," katanya.
Namun, menurut Faisal terlalu gegabah untuk mengatakan tax ratio yang relatif rendah sebagai wujud dari kebocoran atau korupsi, kecuali ada data yang membuktikannya.
"Siapapun yang memerintah pada 2019-2024, pekerjaan rumah yang menghadang sangatlah berat. Segala sumber daya harus digunakan dengan perencanaan yang cermat serta proses pelaksanaannya transparan dan akuntabel. Sektor pemerintah tampaknya belum tersentuh oleh proses disrupsi dan masih berperilaku business as usual," katanya.