Filipina Mau Batasi Impor Minyak Sawit RI, Pengusaha Belum Khawatir

24 Januari 2019 15:39 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi perkebunan kelapa sawit (Foto: ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi perkebunan kelapa sawit (Foto: ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi)
ADVERTISEMENT
Para pengusaha kelapa sawit Indonesia yang tergabung dalam Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) mengaku belum khawatir soal ancaman Filipina yang akan memberlakukan retaliasi atau tarif bea masuk yang tinggi untuk komoditas minyak kelapa sawit Indonesia.
ADVERTISEMENT
Adapun ancaman ini muncul sebagai bentuk pencegahan banjir produk minyak kelapa sawit Indonesia di pasar lokal Filipina. Selain itu, alasan lainnya adalah karena defisit perdagangan Filipina yang semakin melebar akibat sikap protektif Indonesia.
"Setahu saya, ekspor CPO ke Filipina itu tidak terlalu besar. Angkanya tidak hafal," ungkap Direktur Eksekutif GAPKI Mukti Sardjono kepada kumparan, Kamis (24/1).
Meski begitu, dia mengatakan setiap pengenaan tarif bea masuk tentu akan berpengaruh terhadap jumlah ekspor dan juga kenaikan harga minyak sawit Indonesia yang akan dibeli masyarakat Filipina. Untuk itu, dia meminta agar pemerintah Filipina mempertimbangkan kembali keputusan ini.
Pengisian minyak kelapa sawit. (Foto: dok. Istimewa)
zoom-in-whitePerbesar
Pengisian minyak kelapa sawit. (Foto: dok. Istimewa)
"Mudah-mudahan Filipina mempertimbangkan hal ini," tambahnya.
Pemerintah Filipina sendiri disebutkan sudah berbicara dengan pemerintah Indonesia pada bulan Desember 2018 lalu terkait rencana ini. Namun, Menteri Pertanian Filipina, Manny Pinol, mengklaim negosiasi ini berlangsung alot dan tidak berjalan lancar.
ADVERTISEMENT
"(Namun Indonesia) tidak memiliki niat untuk membuka pasarnya," ujar Pinol seperti dikutip dari Philippine News Agency.
Menurut Pinol, salah satu penyumbang defisit neraca Filipina adalah komoditas minyak sawit. Volume ekspor minyak sawit Indonesia ke Filipina tercatat terus meningkat dari 20 ribu ton pada tahun 2015 menjadi 260 ribu ton pada tahun 2017.