Geser Amerika Serikat, China Jadi Pasar Ritel Terbesar di 2019

28 Januari 2019 13:06 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Suasana Pelabuhan di Qingdao, Shandong, China. (Foto: AFP/STR)
zoom-in-whitePerbesar
Suasana Pelabuhan di Qingdao, Shandong, China. (Foto: AFP/STR)
ADVERTISEMENT
Menyusul perang dagang yang dikobarkan di awal 2018 oleh Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, pasar ritel China yang menjadi seteru justru akan menyalip Negeri Paman Sam itu pada 2019 ini.
ADVERTISEMENT
Riset terbaru eMarketer yang dirilis Rabu (23/1) pekan lalu mengungkapkan, penjualan ritel China pada tahun ini akan melampaui USD 5,6 triliun atau sekitar Rp 78.460 triliun. Angka itu lebih besar sekitar USD 100 miliar yang akan diraih Amerika Serikat.
Meningkatnya populasi penduduk China dan pesatnya perkembangan e-commerce, telah mendorong ledakan ritel negara itu secara epik.
"Dalam beberapa tahun terakhir, konsumen di China telah mengalami peningkatan pendapatan. Hal ini melahirkan jutaan ke kelas menengah baru," kata Direktur eMarketer, Monica Peart. "Hasilnya adalah peningkatan nyata dalam daya beli dan pengeluaran rata-rata per orang," tambahnya.
Tren tersebut telah masuk proyeksi korporasi global, yang menempatkan China sebagai pasar terpenting untuk beragam produk dan merek. China sudah menjadi pasar terbesar untuk mobil dan smartphone.
ADVERTISEMENT
Tahun ini selisih nilai penjualan ritel China dan AS memang hanya USD 100 miliar. Tapi diperkirakan akan terus melebar di tahun-tahun mendatang.
Etalase produk di Home Times (Foto: Muhammad Fikrie/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Etalase produk di Home Times (Foto: Muhammad Fikrie/kumparan)
Perusahaan e-commerce terbesar di Tiongkok seperti Alibaba (BABA) dan JD.com (JD), telah memainkan peran kunci dalam pertumbuhan industri yang eksplosif. Lebih dari 35 persen atau hampir USD 2 triliun, belanja ritel China diperkirakan akan dilakukan secara online. Angka itu meninggalkan AS yang pasar online-nya masih di kisaran 11 persen pada tahun ini.
Hari belanja online di Alibaba, Singles Day, telah menjadi yang terbesar di dunia. Nilai penjualannya bahkan melampaui gabungan hari belanja online di AS, yakni Black Friday dan Cyber Monday.
Tak hanya mengukuhkan posisinya di pasar online, seperti juga Amazon di AS, Alibaba pun kini merambah ke toko offline. Pada 2017 lalu, Alibaba mengambil alih 36 persen saham Sun Art Retail Group (SURRY), senilai USD 2,9 miliar. SURRY ini sering disetarakan dengan Walmart di AS.
ADVERTISEMENT
Demikian juga Tencent, pemilik aplikasi pesan instan WeChat, dan tiga perusahaan lainnya menginvestasikan USD 5 miliar di Wanda Commercial Properties. Wanda merupakan operator mal terbesar di China. Tencent juga pemegang saham utama di JD.com.
Pada sisi lain, pertumbuhan ekonomi China melambat. Pada 2018 hanya sebesar 6,6 persen atau terendah dalam 28 tahun. Demikian juga pertumbuhan penjualan ritel yang pada 2019 diproyeksi hanya 7,5 persen, turun dari tahun lalu yang 8,5 persen.
Tapi analis tetap menghembuskan nada optimistis. "Pertumbuhan memang kami proyeksi melambat, namun kami berpikir bahwa kecemasan tentang konsumsi China sebagian besar berlebihan," kata ekonom Oxford Economics, Tianjie He.
"Kami tidak mengharapkan perlambatan signifikan pada 2019," tulisnya lagi, sambil menambahkan bahwa konsumen China akan tetap menjadi pendorong utama pertumbuhan ekonomi.
ADVERTISEMENT
Adakah Peluang Buat Indonesia?
Bagi Indonesia pun, China merupakan pasar ekspor utama berbagai komoditas unggulan. Nilai ekspor non-migas Indonesia ke China, meliputi 23 persen dari total ekspor ke mancanegara. Sehingga menguatnya penjualan ritel China, memberi peluang besar bagi Indonesia.
Ekspor buah manggis ke China (Foto: ANTARA FOTO/Wira Suryantala)
zoom-in-whitePerbesar
Ekspor buah manggis ke China (Foto: ANTARA FOTO/Wira Suryantala)
Sayangnya produk ekspor utama Indonesia ke China, masih didominasi oleh komoditas seperti minyak sawit, batubara, karet, dan produk hasil hutan. Produk manufaktur masih kalah nilai, seperti tekstil dan produk tekstil, elektronik, dan alas kaki.
Itu pun, meski ekspor Indonesia ke China terus tumbuh, namun impor Indonesia dari China tumbuh lebih pesat ketimbang ekspornya. Akibatnya defisit neraca perdagangan juga terus membesar. Dengan kondisi perlambatan ekonomi China, ini memberi tantangan lebih besar lagi bagi Indonesia, untuk bisa mengambil untuk dari lonjakan penjualan ritel di sana.
ADVERTISEMENT
Dengan kondisi perlambatan ekonomi China, ini memberi tantangan lebih besar lagi bagi Indonesia, untuk bisa mengambil untuk dari lonjakan penjualan ritel di sana.