Harga CPO Malah Rontok Jelang Akhir Tahun

19 November 2018 15:52 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi biji kelapa sawit (Foto: Thinkstock)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi biji kelapa sawit (Foto: Thinkstock)
ADVERTISEMENT
Di November 2018 ini, harga crude palm oil (CPO) mencatatkan sejarah paling rendah sejak tahun 2015 yang ketika itu sebesar USD 490 per ton. Beberapa hari lalu, harga CPO sempat terperosok sampai titik terendah yaitu USD 450 per ton.
ADVERTISEMENT
Menurut data Institute For Development of Economics and Finance (INDEF), rata-rata harga CPO di November 2018 sebesar USD 499,15 per ton. Angka ini bertahan sejak bulan Oktober 2018. Sementara pada Mei 2018, harga CPO masih di kisaran USD 603,46. Sedangkan harga tertinggi CPO tercatat di Januari 2017 sebesar USD 735,48.
Ketua Bidang Komunikasi Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Tofan Mahdi tak memungkiri anjloknya harga CPO tak lepas dari turunnya permintaan dan melimpahnya stok.
"Suplai kita terus terang saat ini produksi sangat tinggi sehingga memang jadi stok yang berlimpah, perkiraan kita 42 juta ton. Sementara, hanya 32 juta ton terserap di pasar ekspor," katanya ketika dihubungi kumparan, Senin (19/11).
ADVERTISEMENT
Tofan menjelaskan kurangnya permintaan CPO disebabkan karena faktor global. Misalnya, kebijakan tarif bea masuk tinggi di India. Sedangkan di Uni Eropa, produk CPO Indonesia terkena kampanye hitam dan kebijakan hambatan perdagangan lainnya.
Pekerja membawa kelapa sawit (Foto: AFP PHOTO / Adek Berry)
zoom-in-whitePerbesar
Pekerja membawa kelapa sawit (Foto: AFP PHOTO / Adek Berry)
"Kampanye negatif berpengaruh permintaan di pasar ekspor seperti Eropa," imbuhnya.
Ekonom INDEF, Bhima Yudhistira Adhinegara, merinci penyebab turunnya demand CPO. Sepakat dengan Tofan, turunnya permintaan CPO karena banyak negara memberlakukan kebijakan proteksi perdagangan untuk melindungi produksi minyak nabatinya.
"Mereka tidak mampu bersaing dengan Indonesia akhirnya minyak sawit dikenakan tarif (bea masuk) 50 persen padahal India tujuan penting, minyak sawit diolah India disalurkan, jadi kawasan penting, itu yang membuat harga sawit menurun demandnya," timpal Bhima.
Tak hanya itu, Bhima menuturkan permintaan CPO juga menurun pada pasar Eropa yang awalnya double digit menjadi hanya 6-7 persen. Penyebabnya banyak hambatan dagang yang diberlakukan Uni Eropa pada produk CPO Indonesia.
ADVERTISEMENT
"Di Eropa kita banyak isu lingkungan hidup dan deforestasi sehingga minimarket menolak sawit, ditulis free palm oil atau bebas minyak sawit karena mengganggu kesehatan sempat ramai dan menimbulkan image negatif," jelas dia.
Kemudian menyusul Amerika Serikat. Negeri Paman Sam tersebut juga diketahui mulai membatasi pemasukan produk CPO asal Indonesia. Alasan mereka adalah, pemerintah Indonesia memberikan subsidi yang menyebabkan harga produk CPOnya lebih murah dibandingkan produk minyak nabati lainnya.
"Di AS juga sama, tapi bukan produk minyak sawit tapi biodesel yang dianggap melakukan anti dumping karena melakukan subsidi, sehingga AS tidak bisa bersaing," ujarnya.
Dengan harga CPO yang sedang rontok, GAPKI mengusulkan agar tarif pungutan ekspor bisa diturunkan. Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 81 Tahun 2018, pemerintah mengenakan pungutan ekspor sawit atau CPO sebesar USD 50 per ton, komoditas minyak sawit RBD (Refined, Bleached, and Deodorized) sebesar USD 30 per ton, dan minyak goreng kemasan USD 20 per ton.
ADVERTISEMENT