Harga Nikel Masih Jadi Penyebab Vale Indonesia Merugi

4 Juli 2018 14:53 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Lokasi tambang Nikel Milik PT Vale Indonesia (Foto:  Selfy Sandra Momongan/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Lokasi tambang Nikel Milik PT Vale Indonesia (Foto: Selfy Sandra Momongan/kumparan)
ADVERTISEMENT
Perusahaan tambang nikel, PT Vale Indonesia Tbk (INCO) mencatatkan kerugian sebesar USD 15,3 juta atau sekitar Rp 214 miliar (kurs Rp 14.000) di 2017. Vice President Vale Indonesia Bernardus Irmanto mengatakan, kerugian tersebut disebabkan karena harga nikel yang sempat jatuh pada awal tahun.
ADVERTISEMENT
“Kalau kinerja keuangan sangat terpengaruh oleh harga nikel ya sebenarnya. Di awal tahun itu sangat tertekanlah. Karena harga nikel tidak sesuai dengan yang diharapkan maka anjlok dari sisi revenue,” ungkap Bernardus di Sorowako, Sulawesi Selatan, Rabu (4/7).
Ketika harga nikel sedang tak baik, di sisi lain biaya produksi justru naik karena harga minyak dan batu bara juga sempat terkerek tahun lalu. Padahal menurut Bernandus, minyak dan batu bara menjadi beban pengeluaran paling besar.
Revenue turun itu karena harga nikel tidak sesuai harapan sementara cost-nya naik, harga minyak dan batu bara naik. Padahal kedua itu mendominasi cost PT Vale,” ujarnya.
Tambang Nikel Milik PT Vale Indonesia (Foto:  Selfy Sandra Momongan/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Tambang Nikel Milik PT Vale Indonesia (Foto: Selfy Sandra Momongan/kumparan)
Untuk itu, Bernardus mengatakan, demi memperbaiki kinerja keuangan perseroan, pihaknya akan melakukan optimalisasi produksi. Sebab dengan produksi yang optimal, maka tidak hanya revenue saja yang naik, namun juga dapat mengefisiensikan biaya produksi. Selain itu, pihaknya juga berharap harga nikel dapat berada di level yang lebih baik tahun ini.
ADVERTISEMENT
“Optimalisasi produksi itu penting karena semakin tinggi produksi semakin rendah unit cost. Dari harga nikel kami ketolong dan mengoptimalkan produksi plus kami mempunyai beberapa inisiatif untuk mengurangi biaya produksi,” ujarnya.
Meski masih enggan menyebutkan target revenue secara rinci, namun Bernadus optimistis pihaknya bisa membukukan kinerja keuangan yang lebih baik tahun ini.
Di sisi lain, perseroan menganggarkan belanja modal (capex) sebesar USD 89 juta atau sekitar Rp 1,25 triliun. Meski demikian, Bernardus mengatakan, jumlah tersebut masih berpotensi naik seiring adanya perubahan penjadwalan belanja modal. Menurutnya, capex tahun ini bersumber dari dana internal.
“Rencana awal sekitar USD 89 juta. Cuma memang akan ada kenaikan terkait dengan perubahan penjadwalan capital. (Alokasi capex) detailnya enggak inget. Majority ada pembelian capital, terkait dengan rencana perbaikan PLTA Larona,” tutupnya.
ADVERTISEMENT