Hati-hati, Sektor Perdagangan Bisa Terpukul Akibat Pelemahan Rupiah

9 Mei 2018 8:18 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pusat Elektronik di Kawasan Glodok (Foto: Abdul Latif/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Pusat Elektronik di Kawasan Glodok (Foto: Abdul Latif/kumparan)
ADVERTISEMENT
Pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang terus berlanjut dapat memukul produk domestik. Tak hanya itu, depresiasi kurs yang kemarin menyentuh Rp 14.036 per dolar AS juga dinilai akan turut menghambat produksi.
ADVERTISEMENT
Pengamat perdagangan internasional dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (UI), Fithra Faisal, mengatakan pelemahan rupiah seharusnya dimanfaatkan eksportir untuk ambil untung. Tapi sayangnya, impor di Indonesia jauh lebih tinggi dibandingkan ekspor.
Selama kuartal I 2018, laju impor tumbuh 12,75% (yoy), jauh lebih tinggi dibandingkan ekspor yang hanya 6,17% (yoy).
"Seperti lingkaran setan jadinya. Pelemahan rupiah seharusnya dimanfaatkan ekspor, tapi impor jauh lebih besar. Ketika rupiah melemah, 90% bahan baku impor, ya otomatis memukul ekspor juga. Pelemahan enggak cukup membantu (ekspor), justru produksi terhambat," ujar Fithra kepada kumparan (kumparan.com), Rabu (9/5).
Fithra menjelaskan, jika pelemahan rupiah tak segera direspons pemerintah dan Bank Indonesia (BI), dapat meningkatkan laju inflasi akibat harga barang impor yang naik (imported inflation). "Kalau tidak direspons, depresiasi yang resisten ini bisa membuat ongkos produksi meningkat. Dan akibatnya ya imported inflation," katanya.
ADVERTISEMENT
Adapun produk dalam negeri yang perlu diwaspadai akibat pelemahan rupiah di antaranya barang-barang elektronik, kendaraan bermotor, serta mesin.
"Nilai tukar melemah, produk-produk itu juga otomatis terpukul. Karena bahan-bahan mereka itu, sparepart segala macamnya dari impor. Nah untuk belinya, kan pasti lebih mahal akibat depresiasi ini," jelas dia.
Jika pelemahan rupiah terus terjadi, lanjut Fithra, maka neraca perdagangan mungkin saja bisa kembali defisit di bulan ini dan beberapa bulan ke depan. Dampak terburuknya yakni penurunan kontribusi manufaktur ke perekonomian (deindustrilisasi).
"Tapi sudah mulai ada tanda-tandanya nih. Tahun 2001 manufaktur atau industri itu 29% ke PDB, sekarang di kuartal I tahun ini sudah 20% ke PDB. Ini karena penopang infrastruktur untuk manufaktur terbatas, sekarang tepat untuk membangun industri. Karena manufaktur ini kan sifatnya multi efek ke perekonomian, kalau dia aja sudah turun, ke komponen yang lain juga berpengaruh," jelasnya.
ADVERTISEMENT