Indonesia Dapat Ganti Rugi Rp 140 Miliar dari Kasus Sengketa Tambang

25 Maret 2019 15:41 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi pekerja tambang Foto: skeeze
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi pekerja tambang Foto: skeeze
ADVERTISEMENT
Pemerintah Indonesia akhirnya memenangkan kasus sengketa tambang atas Churchill Mining Plc dan Planet Mining Pty Ltd pada 18 Maret 2019.
ADVERTISEMENT
Adapun keputusan International Center for Settlement of Investment Disputes (ICSID) itu, merupakan putusan final dan tidak ada upaya hukum lagi bagi kedua penggugat atas perkara ini.
Selain menang dan lolos dari ganti rugi sebesar USD 1,3 miliar atau sekitar Rp 18 triliun, pemerintah Indonesia juga mendapatkan award atau ganti rugi legal cost dari perkara ini sebesar USD 9,4 juta atau setara Rp 140 miliar.
Menteri Hukum dan HAM, Yasonna H. Laoly, menegaskan akan terus mengejar sampai kapan pun putusan ini.
"Kita akan tagih dan dan mengejar aset-aset mereka untuk disita kalau tidak ada itikad baik. Kita juga sudah siap menggunakan perjanjian MLA dengan negara yang sudah sepakat dengan kita," katanya saat ditemui di Kantor Kemenkum HAM, Jalan H. Rasuna Said, Jakarta Selatan, Senin (25/3).
ADVERTISEMENT
Selain itu, Yasonna juga mengatakan, kemenangan pemerintah ini merupakan salah satu peringatan bagi para investor asing yang tidak beritikad baik untuk berinvestasi di dalam negeri.
Ilustrasi tambang nikel. Foto: REUTERS/Yusuf Ahmad
Atas putusan ini pun, ia menegaskan kepada para investor, kemenangan pemerintah ini menjadi alarm awal bagi investor asing yang tidak beritikad baik berinvestasi di tanah air.
“Menangnya kita ini sekaligus memberi pesan khusus untuk investor asing yang punya itikad tidak baik, kalau mau berinvestasi kadang mereka tidak melakukan due diligence yang baik. Tidak lihat dulu surat-suratnya, data-datanya bidang legalnya seperti apa, hak-hak yang ada di situ,” katanya.
Kemenangan pemerintah ini karena dasar izin pertambangan dan beberapa perizinan yang Churchill dan Planet miliki adalah palsu atau dipalsukan dan tidak pernah memperoleh otorisasi dari Kantor Pemerintah Daerah Kutai Timur, Provinsi Kalimantan Timur.
ADVERTISEMENT
Kasus ini bermula saat Grup Nusantara mengelola area konsesi tambang batu bara seluas 350 km persegi di empat kecamatan di Kutai Timur yang berakhir pada 2006‑2007. Lahan itu selanjutnya dikuasai PT Ridlatama, namun selanjutnya diakuisisi Churchill dan Planet tanpa sepengetahuan pemerintah.
Pemkab Kutai Timur yang kala itu bupatinya Isran Noor membatalkan IUP PT Ridlatama pada 2010. Churchill dan Planet yang tak terima dengan pembatalan itu lantas mengajukan gugatan sebesar USD 1,3 miliar atau Rp 18 triliun ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Samarinda pada 2010. Sebab mereka menilai merugi karena pembatalan izin tersebut.