Ivan Tandyo: Dropout, Bangkrut, hingga Merebut Mimpi di Melbourne

3 Desember 2018 19:30 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ivan Tandyo, pengusaha Indonesia di Melbourne. (Foto: Dok. Istimewa)
zoom-in-whitePerbesar
Ivan Tandyo, pengusaha Indonesia di Melbourne. (Foto: Dok. Istimewa)
Necis, klimis, berkumis. Ivan Tandyo dengan langkah mantap memasuki ruangan dan memberi para tamunya jabat tangan hangat. Mereka berada di The 11th, bakal coworking space dan inkubator bisnis di Collins Street Tower, Melbourne, Australia.
The 11th berada di bawah naungan Navanti Holdings, perusahaan investasi yang bergerak di ragam industri seperti properti, manufaktur, furnitur, bisnis kreatif, jasa, percetakan, hingga tech startup. Navanti berbasis di Melbourne, tersebar di 14 negara, dan mengembangkan sayap dengan agresif di Australia dan Asia.
Di perusahaan itu, Ivan duduk sebagai Chief Executive Officer (CEO). Ia bukan warga Australia. Ia orang Indonesia―yang pernah dropout dari kampus saking bengalnya, dan sempat bangkrut sampai punya timbunan utang.
Tapi kini, jejak hitam masa lalu itu sama sekali tak terlihat pada licin jas hitam yang ia kenakan. Dari kepala sampai kaki, Ivan menguarkan aroma kesuksesan.
Ivan Tandyo, pengusaha Indonesia di Melbourne. Ia dulu bercita-cita jadi VJ MTV. (Foto: Instagram/@ivantandyo)
zoom-in-whitePerbesar
Ivan Tandyo, pengusaha Indonesia di Melbourne. Ia dulu bercita-cita jadi VJ MTV. (Foto: Instagram/@ivantandyo)
“Mimpi saya dulu cuma satu: ingin jadi VJ MTV,” kata Ivan memulai kisah hidupnya saat sejumlah media dari Indonesia bertandang ke The 11th bersama Kedutaan Besar Australia, Selasa (27/11).
Rasa segan karena melihat penampilan perlente Ivan, segera luntur saat mendengar ia bicara. Ivan sama sekali tak jaim alias jaga image. Ia berbincang riuh, tertawa lepas, dan berbagi cerita dengan penuh semangat.
“Hobi saya menulis cerita―bikin indie movie. Lalu nulis lagu, main gitar,” ujar Ivan, lantas tanpa tedeng aling-aling menyambung, “Saya nggak suka sekolah.”
Ivan mengibaratkan dirinya di masa lalu seperti “anak tanpa arah”. Sesat pikirnya saat itu nyata terlihat dari sikap dia yang asal-asalan memilih jurusan kuliah. Ia mendaftar hampir ke semua universitas di Melbourne, namun dengan disiplin ilmu berbeda-beda.
“Saya apply economics and finance di RMIT (Royal Melbourne Institute of Technology), accounting di Monash University, sociology of art di kampus lain, juga daftar ke University of Melbourne jurusan apa sampai lupa,” kata Ivan mengenang masa kelamnya sambil tertawa-tawa.
Ia tak memilih berdasarkan minat. Cukup cari fakultas yang tampak paling keren di universitas-universitas yang berserak di Melbourne, dan itulah yang ia pilih. Benar-benar serampangan.
Ivan lalu agak menerawang, teringat sang ayah di Indonesia yang kala itu bak kehabisan akal menghadapi ulah anak semata wayangnya yang ugal-ugalan.
Kelakuan Ivan yang memilih jurusan dengan asal, diikuti dengan menghadiri perkuliahan secara serabutan. Tak heran ia akhirnya dikeluarkan dari kampus. Dropout.
Mengantongi surat dropout, Ivan terbang pulang ke Indonesia dengan hati cemas. Ia bersiap menghadapi murka sang ayah, dan berlatih jurus-jurus bela diri macam terdakwa menyusun pledoi atau nota pembelaan. Ivan sadar telah amat mengecewakan orang tuanya.
Bokap orang sukses,” kata Ivan, mulai bicara dalam bahasa gaul anak Jakarta―kota asalnya. “Bokap dulu orang nggak punya. Dia bikin usaha dari nol. Dia taruh mimpinya dalam kehidupan gue, tapi waktu itu nggak berhasil.”
Setiba di rumahnya di Jakarta, Ivan lekas bersiasat. Semua benda keras di kamarnya seperti laptop, ia singkirkan dan sembunyikan. Ia juga menaruh bantal di sana sini. “Supaya kalau bokap marah dan mau lempar-lempar barang, yang ada cuma bantal,” ujarnya, tersenyum menyeringai.
Setelah memasang “kuda-kuda”, terdengar ketukan di pintu kamar. Jantung Ivan berdegup kencang. Ia tahu itu ayahnya.
“Papa dengar kamu dikeluarin dari kampus,” kata Ivan, mengulang ucapan sang ayah. Ia sudah siap-siap mengeluarkan jurus “silat” untuk menangkis semburan amarah, ketika mendadak ayahnya berbicara lembut, di luar dugaan.
“Kayaknya kamu nggak lulus itu karena salah papa. Papa mau say sorry sama kamu. Selama ini papa push mimpi papa dalam kehidupan kamu. Mungkin kamu punya jalur sendiri. Mulai sekarang, kamu kerjain apa yang kamu mau. Papa dukung dari belakang sekuat papa,” kata Ivan, kembali menirukan ucapan ayahnya.
Mendengar kata demi kata yang meluncur, hati Ivan langsung hancur. Ia menangis minta maaf. Peristiwa itu menjadi momen terbangunnya kedekatan dia dengan sang ayah, dan titik balik dalam kehidupannya dari anak berandal menjadi seorang pekerja keras.
Ivan Tandyo, pengusaha Indonesia di Melbourne. Ia pernah dropout dari kampus. (Foto: Instagram/@ivantandyo)
zoom-in-whitePerbesar
Ivan Tandyo, pengusaha Indonesia di Melbourne. Ia pernah dropout dari kampus. (Foto: Instagram/@ivantandyo)
Ivan yang telah insaf kemudian kembali ke Melbourne. Ia berupaya masuk lagi ke RMIT, universitas yang memecatnya sebagai mahasiswa. Tapi itu sama sekali tak mudah. Ia harus mengajukan banding ke dewan kampus, serta menyusun esai tentang problem psikologis yang membuatnya sampai dropout.
Dan Ivan gagal. Profesornya―yang kaget melihat ia muncul lagi di kampus lalu berseru “It’s you again!”―menolak esai bandingnya dengan kalimat singkat, “You’re out. That’s it.”
Mencoba mengobati patah hatinya karena ditolak RMIT, Ivan akhirnya berkuliah ke Universitas Swinburne di pinggir timur Melbourne. Namun baru beberapa minggu di sana, ia mendapat telepon dari seorang perempuan di RMIT.
Perempuan itu menawarkan bantuan agar Ivan dapat belajar kembali di RMIT, dengan syarat ia mengambil program diploma banking and finance sebelum kembali ke jalur sarjana (bachelor) economics and finance.
“Semua kredit mata kuliah kamu yang hangus akan saya transfer ke program diploma kamu. Kamu start di tengah, kemudian ambil summer school. Dengan begitu, dalam satu tahun setengah, kuliah kamu selesai. Begitu lulus diploma, semua kredit itu akan saya kembalikan ke jurusan awal kamu di program sarjana,” kata Ivan menuturkan ulang kalimat perempuan itu.
Ivan benar-benar mengikuti semua arahan tersebut. Ia merasa bersyukur mendapat kesempatan untuk membenahi hidup. Sayangnya, Ivan lupa siapa nama penolongnya itu.
Melbourne, ibu kota negara bagian Victoria, Australia. (Foto: Pixabay/Adrian Malec)
zoom-in-whitePerbesar
Melbourne, ibu kota negara bagian Victoria, Australia. (Foto: Pixabay/Adrian Malec)
Lulus kuliah, karier Ivan bukannya mulus. Hidup bak roller-coaster―terbang melesat lantas terempas keras. Setelah lima-enam tahun sukses di bisnis food & beverage dengan membangun dan mengembangkan kafe di tiga lokasi di Melbourne, tempat keempat malah membuatnya gulung tikar.
Ivan salah perhitungan. Ia membuka restoran dengan konsep baru―Korean fast food―di salah satu mal di Melbourne, dan menyangka pengunjung akan menyukai eksperimen itu. Namun harga sewa tempat di mal itu ternyata kelewat mahal, tak terkejar oleh pendapatan restoran.
“Saya nggak bisa bayar sewa. Saya jatuh. My business was bleeding,” kata Ivan mengingat masa-masa menyakitkan yang membuat dia dikejar-kejar penagih utang itu.
Pengalaman adalah guru berharga. Setelah beberapa waktu bangkrut dan terpuruk, Ivan kembali menapak dengan kesadaran baru.
“Mimpi harus bertemu kegigihan―plus cari mentor,” ujar Ivan, berbagi rumus sukses yang ia petik dari kegagalan pahitnya dulu.
Tentu, mimpi Ivan bukan lagi menjadi VJ MTV.
Properti yang dikembangkan Ivan Tandyo, pengusaha Indonesia di Melbourne. (Foto: Instagram/@ivantandyo)
zoom-in-whitePerbesar
Properti yang dikembangkan Ivan Tandyo, pengusaha Indonesia di Melbourne. (Foto: Instagram/@ivantandyo)
Ivan mulai lagi dari awal. Kehilangan usaha food & beverage memantik kreativitas tanpa batas. Ia berpikir keras untuk bangkit mandiri, merentang jaringan relasi, dan akhirnya menambatkan hati di bisnis properti.
“Saya bantu orang Indonesia yang cari properti di Australia untuk investasi. Saya kan punya kekuatan menjalin relasi karena saya bergaul pakai hati. Jadi saya bikin servis―orang Indonesia datang, saya jemput di airport, mau lihat properti apa saya aturkan, semua regulasi saya tatakan rapi, kalkukasi saya buatkan, lawyer saya sediakan. Jasa itu laris manis karena sesuai kebutuhan investor,” kata Ivan.
Dari situlah Xynergy Realty berdiri. Sebuah agen real estat dan manajer properti yang berbasis di Melbourne. Selaku co-founder, Ivan meletakkan konsep servis premiumnya sebagai moto perusahaan: your one-stop property solution.
Xynergy yang merupakan anak usaha Navanti Holdings, meraih kepercayaan dari para pengembang di Melbourne. Tiap menggelar pameran properti di Indonesia, Ivan dan timnya bisa menjual 30 unit sekaligus dalam sepekan. Pengembang yang sempat memandang Ivan sebelah mata pun kemudian perlahan menjalin hubungan baik dengannya.
“Ada satu developer yang semula nggak menganggap saya. Saya telepon, ditolak terus. Saya nggak menyerah, pergi ke kantornya, dan mengetuk pintunya. Dia bilang, ‘What do you want? I’m busy. I give you five minutes.’ Saya presentasi kilat, dia lalu memutuskan kasih kesempatan saya untuk jual propertinya, dan tim saya sukses berat. Kami jadi dekat,” tutur Ivan.
Kedekatan dengan pengembang itu pula yang membuat Ivan dapat segera mewujudkan coworking space The 11th. Ia membeli lantai 11 di Collins Street Tower dari sang developer dengan harga murah.
Angka 11 memiliki arti mendalam bagi Ivan. Selain karena The 11th Space berada di lantai 11, Navanti Holdings―yang ia bangun bersama sejumlah anak muda Indonesia―bertekad untuk merambah bisnis startup digital di usianya yang ke-11 kini.
Ivan Tandyo (kedua dari kanan) bersama timnya di Navanti Holdings. Di sebelah kirinya (sweter oranye), ialah Margaret, sang istri. (Foto: Anggi Kusumadewi/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Ivan Tandyo (kedua dari kanan) bersama timnya di Navanti Holdings. Di sebelah kirinya (sweter oranye), ialah Margaret, sang istri. (Foto: Anggi Kusumadewi/kumparan)
The 11th yang terletak di jalanan utama Melbourne―ibu kota teknologi Australia―mendapat dukungan dari pemerintah Indonesia dan Australia untuk mempererat relasi bisnis antar-kedua negara. Saat ini terdapat sekitar 40 startup dari Australia dan Indonesia yang telah mendaftar masuk ke The 11th.
Berperan sebagai coworking space dan inkubator bisnis, The 11th hendak mendukung dan memfasilitasi startup dengan menghubungkan mereka pada mentor, jaringan, dan investor yang dimiliki Navanti. Navanti sendiri, selama 11 tahun berdiri, telah menjadi inkubator bagi sekitar 20 anak usahanya.
“Hal besar lahir dari mimpi, dan kegagalan bagian dari proses bertumbuh. Tapi, mentorship adalah privilese yang dulu tidak didapat Navanti. Sekarang kami sudah menjalani bisnis 11 tahun, dan kami ingin bantu startup bisa scale-up sampai ke level 11 tanpa harus melewati level 1,” kata Ivan.
The 11th telah diperkenalkan Navanti Holdings ke publik pada 27 September 2018, dan akan dibuka resmi Januari 2019. Pada acara perkenalan The 11th di Collins Street Tower, turut hadir Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Thomas Lembong, dan Ketua LaunchVic (agen startup Victoria) Laura Anderson.
Tom Lembong, juga Kepala Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) Triawan Munaf yang bertemu Ivan di Jakarta, berpesan agar The 11th menjadi gerbang bagi startup Indonesia yang ingin masuk ke Australia.
Ivan mengamini, dan berharap The 11th dapat membantu sekaligus bekerja sama dengan startup-startup potensial untuk mengembangkan pasar mereka di Asia Pasifik.