news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Jalan Panjang dan Rumit Merpati Sebelum Diprivatisasi

15 November 2018 20:06 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pesawat Merpati Nusantara Airlines. (Foto: instagram @aal_ehem)
zoom-in-whitePerbesar
Pesawat Merpati Nusantara Airlines. (Foto: instagram @aal_ehem)
ADVERTISEMENT
Nama PT Merpati Nusantara Airlines (Persero) atau MNA kembali ramai diperbincangan usai putusan Pengadilan Niaga Surabaya kemarin (14/11) yang menerima proposal perdamaian perusahaan antara kreditur debitur. Putusan ini juga menjadi babak baru bagi maskapai usai sakit sejak 2008 lalu.
ADVERTISEMENT
Pengabulan Majelis Hakim PN Surabaya menjadi obat bagi Merpati untuk bisa terbang lagi karena tidak jadi diputus pailit. Padahal utang perusahaan per 2017 kemarin mencari Rp 10,72 triliun, sementara aset perseroan hanya Rp 1 triliun.
Maka, jalan Merpati untuk bisa sembuh dan mengudara lagi masih panjang. Merpati harus lebih dulu menyelesaikan kewajiban utang mereka, terutama kreditur preference yakni para karyawan mereka yang diputus kontraknya. Sebesar 50 persen pesangon eks karyawan Merpati sebesar Rp 317 miliar belum dibayarkan.
Selain itu, Merpati juga harus menyelesaikan utang kepada kreditur pemilik jaminan atau separatis, yaitu Kementerian Keuangan, Bank Mandiri, PT Perusahaan Pengelolaan Aset (PPA). Penyelesaian kewajiban Merpati ke PPA dan Bank Mandiri akan diselesaikan mengikuti jadwal Merpati.
ADVERTISEMENT
Sementara kewajiban Merpati ke Kementerian Keuangan masih belum jelas. Sebab, dalam sidang kemarin, Kementerian Keuangan menjadi satu-satunya lembaga yang menolak proposal perdamaian karena mereka menuntut aset utama segera dibayarkan. Meski begitu, Kementerian Keuangan menegaskan tidak menghendaki Merpati pailit.
Terkait tidak satu suaranya Kementerian Keuangan dalam penyelesaian proposal perdamaian, Deputi Bidang Restrukturisasi dan Pengembangan Usaha Kementerian BUMN, Aloysius Kiik Ro enggan berkomentar.
Pesawat Merpati Nusantara Airlines. (Foto: instagram @airline_indonesia)
zoom-in-whitePerbesar
Pesawat Merpati Nusantara Airlines. (Foto: instagram @airline_indonesia)
"Itu proses yang terjadi dalam persidangan, saya enggak bisa komentar soal itu. Seperti pernyataan saya kemarin, saya bilang kita menghormati putusan Pengadilan," kata Aloy di Kementerian BUMN, Jakarta, Kamis (15/11).
Selain urusan kewajiban penyelesaian utang Merpati kepada kreditur, masih ada hal yang harus diurus Merpati. Beberapa bulan lalu, usai Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi VI DPR RI, Aloy mengatakan ada opsi untuk melepas Merpati menjadi perusahaan swasta. Meksi malu-malu, kala itu Aloy mengatakan opsi itu muncul karena ada satu calon investor yang berniat meminang Merpati.
ADVERTISEMENT
Investor yang dimaksud adalah PT Intra Asia Corpora (IAC). Pemiliknya Kim Johanes Mulia. Dia bukan orang baru di industri penerbangan. Kim pernah memiliki perusahaan maskapai bernama Kartika Airlines. Sayangnya, nasib Kartika di tangan Kim hanya berlangsung 5 tahun saja.
Pada Merpati, Kim sudah menunjukkan ketertarikannya dengan rencana menyuntikan dana sebesar Rp 6,4 triliun yang akan dicairkan dalam dua tahun. Kemantapan Kim bahkan sudah termaktub dalam Perjanjian Transaksi Penyertaan Modal Bersyarat yang dilakukan IAC dan Merpati pada 29 Agustus 2018 yang disaksikan PT PPA.
Alasan Kementerian BUMN rela melepas Merpati menjadi milik swasta karena beban utang yang harus dibayarkan. Dengan masuknya Kim ke Merpati, beban utang itu akan menjadi tanggung jawab Merpati bersama IAC.
ADVERTISEMENT
Tapi melepas Merpati menjadi milik swasta bukan perkara mudah. Ada proses yang harus dilalui Kementerian BUMN yang menjadi induk dari Merpati. Aloy mengatakan, privatisasi ini harus melalui diskusi panjang dengan Kementerian Keuangan, Kementerian Koordinator Bidang Perkonomian, dan Kementerian Perhubuungan. Due dilligence perlu dilakukan pemerintah agar Merpati tak sekadar dilepas dan dijual begitu saja.
Usai 4 kementerian sepakat Merpati diprivatisasi, Kementerian BUMN harus terlebih dahulu meminta izin ke Komisi VI DPR RI. Di sana, anggota dewan akan mereview opsi privatisasi karena Merpati merupakan perusahaan negara yang pertanggung jawabannya harus melalui parlemen. Setelah itu, baru Merpati bisa terbang kembali.
"Kalau ini privatisasi kita berkonsultasi dengan Bu Menkeu. Pertama kita pelajari dulu putusannya seperti apa. Kalau itu masuk kategori privatisasi kita lakukan itu. Biaya salinan itu seminggu dua minggu. Dua tahun lalu seperti itu putusan komite, tapi karena belum ada investor waktu itu kita batal ke DPR. Kan semuanya ujungnya ke DPR," jelas Aloy.
ADVERTISEMENT