Jangan Panik, Pelemahan Rupiah Saat Ini Beda dengan Krisis 1998

10 September 2018 18:12 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Diskusi Media Forum Merdeka Barat ‘Bersatu untuk Rupiah’ di Kemenkominfo. (Foto: Nurul Nur Azizah/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Diskusi Media Forum Merdeka Barat ‘Bersatu untuk Rupiah’ di Kemenkominfo. (Foto: Nurul Nur Azizah/kumparan)
ADVERTISEMENT
Pemerintah menjelaskan pelemahan rupiah saat ini jauh berbeda dengan yang terjadi saat krisis ekonomi tahun 1998. Masyarakat diminta tidak perlu takut, layaknya situasi yang terjadi pada 1998. Kepala Departemen Internasional Bank Indonesia (BI), Doddy Zulverdi menyampaikan kedua hal tersebut tidak bisa disamakan.
ADVERTISEMENT
"Nilai tukar itu adalah salah satu indikator ekonomi yang namanya relative price, yaitu harga relatif. Dia tidak bisa dilihat sebagai angka absolute. Angka Rp 15 ribu sekarang beda dengan Rp 15 ribu 20 tahun lalu, jelas beda. Jadi jangan serta merta disamakan. Ini salah satu pemahanan yang harus kita tanamkan ke berbagai pihak," kata Doddy dalam Diskusi Media Forum Merdeka Barat (FMB) 9 dengan tema "Bersatu untuk Rupiah", bertempat di Ruang Serba Guna Kementerian Komunikasi dan Informatika, Jakarta, Senin (10/9).
Lebih lanjut, Doddy menuturkan ada kesalahan berbagai pihak saat ini yang perlu diluruskan dalam melihat nilai tukar mata uang sebagai angka psikologis. Padahal, kata dia, nilai tukar mata uang yang seharusnya dilihat adalah pergerakan angkanya.
ADVERTISEMENT
Ia mencontohkan kondisi yang terjadi di Australia, Korea Selatan, Malaysia dan Thailand. Pergerakan nilai tukarnya nyaris tidak pernah menjadi berita besar, kecuali perubahannya sangat cepat. Namun, karakter orang Indonesia justru berbeda.
"Orang tidak melihatnya sebagai angka psikologis, tapi seberapa cepat bergeraknya. Jika angka bergerak hanya 8 persen seperti saat ini dibandingkan semisal naik dari level Rp 2.500 sampai ke Rp 15.000, ya jelas berbeda, itu sangat jauh kenaikannya. Ini harus terus kita tanamkan ke masyarakat. Nilai tukar jangan dilihat dari levelnya, tapi lihat pergerakannya," paparnya.
Terkait hal itu, Doddy pun memastikan kondisi ekonomi makro saat ini sangat berbeda dengan yang terjadi saat krisis tahun 1998.
"Tahun 1998 berapa inflasinya? 78,2 persen, sementara sekarang hanya 3,2 persen. Tahun 1998 berapa cadangan devisanya? USD 23,62 miliar, sementara sekarang USD 118,3 miliar. Tahun 1998 berapa tingkat kredit macet? lebih dari 30 persen, sekarang hanya 2,7 persen dan trennya terus turun, dan lain sebagainya. Yang jelas, tahun ini lebih baik daripada tahun 1998. Jadi, ironis jika ada yang bilang tahun ini kita krisis seperti tahun 1998," tandasnya.
ADVERTISEMENT
Kepala Departemen Internasional Kemenko Perekonomian Iskandar Simorangkir menjelaskan tentang kondisi pelemahan mata uang rupiah yang mendekati angka Rp 15.000.
"Secara historis, ini bukan pertama neraca transaksi berjalan kita mengalami defisit. Pada 2013, current account mengalami defisit minus 4,24 persen di triliwulan keduanya. Hal Itu mengakibatkan neraca primer kita mengalami defisit besar,” kata Iskandar.
Lantaran itu pulalah, masyarakat diingatkan Iskandar untuk tidak khawatir berlebihan demi menghindari akibat negatif yang tidak diinginkan.
“Kita memang harus siap menghadapi penurunan rupiah ini, mau tidak mau. Tapi ini bukan merupakan hal yang baru. Tidak perlu ditakutkan. Kalau waspada iya. Hanya, ketakutan yang berlebihan itu tidak bagus. Saya banyak melakukan riset, bahwa kalau kita berpikiran negatif itu bisa mengakibatkan hal negatif," kata Iskandar.
ADVERTISEMENT
Ia mencontohkan ketika terjadinya krisis perbankan, walau sebenarnya banknya sehat. Namun, bisa menjadi tidak sehat ketika nasabah berbondong-bondong tidak percaya hingga bisa menyebabkan bangkrutnya bank tersebut.
"Itulah sebabnya jangan memberi informasi yang bisa membuat kita semua panik,” imbuhnya Iskandar.
Diskusi Media Forum Merdeka Barat ‘Bersatu untuk Rupiah’ di Kemenkominfo. (Foto: Nurul Nur Azizah/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Diskusi Media Forum Merdeka Barat ‘Bersatu untuk Rupiah’ di Kemenkominfo. (Foto: Nurul Nur Azizah/kumparan)
Lanjut Iskandar, masalah terjadinya defisit pada neraca transaksi berjalan bukanlah hal baru dan tidak perlu menciptakan ketakutan yang luar biasa besar. Pasalnya, dibanding tahun 2013 yang angka defisitnya 4,24 persen, defisit neraca berjalan tahun ini yang mencapai minus 3,04 persen bukanlah merupakan sebuah krisis.
“Karena ada arus modal masuk atau capital inflow, kondisi itu menjadi tidak masalah,” tuturnya.
Hal yang saat ini justru harus diwaspadai menurut Iskandar adalah iklim global yang penuh ketidakpastian. Situasi ini dikhawatirkan bisa memicu capital outflow.
ADVERTISEMENT
“Fenomena ketidakpastian ini memang fenomena global. Di Argentina yang kondisi ketidakpastian global telah memicu terjadinya krisis menjadi lebih berat. Dari awal Januari sampai Jumat, mata uang Argentina terdepresiasi 49,62 persen. Kalau Turki 40,7 persen depresiasinya. Coba dibandingkan dengan kita, depresiasi hanya minus 8,5 persen,” lanjut dia.
Tak hanya itu, kekhawatiran berlebihan tidak diperlukan karena fundamental ekonomi di dalam negeri menurutnya masih sangat kuat, hal itu bisa ditunjukkan dengan tingkat inflasi yang masih rendah yakni 3,2 persen.
Untuk mendorong kepercayaan masyarakat pada rupiah, Iskandar mengatakan, pemerintah kini tengah berupaya menerbitkan kebijakan kenaikan tarif PPh impor. Pemerintah juga akan terus mendorong penggunanan komponen lokal pada proyek-proyek infrastruktur untuk mengurangi beban impor.
ADVERTISEMENT
“Sejumlah kebijakan untuk mendorong ekspor juga telah diterbitkan, antara lain dengan sistem OSS dan pos border,” tegas dia.
Selain itu, kata dia, pemerintah juga mendorong penguatan sektor pariwisata. Pada 18 Agustus lalu, sambung dia, pemerintah sudah memutuskan memberikan Kredit Usaha Rakyat (KUR) pariwisata kepada Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) dengan suku bunga 7 persen.
“Saya yakin bersama-sama dengan masyarakat, dengan pemberitaan yang seimbang, saya yakin masyarakat percaya ekonomi solid sehingga nilai tukar kita menjadi seimbang,” katanya.
Sementara itu, Juru Bicara Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Sekar Putih Djarot mengatakan seluruh pihak jasa keuangan dipastikan mendukung pemerintah sejumlah program ekonomi yang sedang dijalankan, di antaranya pembiayaan transaksi ekspor.
“Dari semua itu, kami berharap koordinasi terus ditingkatkan, khususnya antara pihak pemerintah dan BI. Sehingga, industri hingga saat ini masih dalam keadaan terjaga. Sejauh ini kami mengapresiasi kebijakan pemerintah yang telah melakukan intervensi kepada pasar,” ujar Sekar.
ADVERTISEMENT
Staf Ahli Bidang Kebijakan Penerimaan Negara Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Robert Leonard Marbundalam juga menambahkan pihaknya bersama OJK, BI dan Kemenko terus berkoordinasi mengendalikan, menjaga stabilitas hingga berusaha menjaga kepercayaan pasar.
"Dengan demikian kami berupaya mengurangi dampak negatif dari faktor eksternal. Intinya, kami dari masing-masing Kementerian/Lembaga bersinergi dan melihat mengapa ini terjadi. Sehingga bagaimana ekonomi Indonesia bisa bertumbuh dan pertumbuhan ekonomi menguat," pungkas Robert.