Jokowi dan Mahathir Surati Uni Eropa, Protes Diskriminasi Sawit

8 April 2019 13:48 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Jokowi dan Mahathir Mohamad di Istana Bogor Foto: ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari
zoom-in-whitePerbesar
Jokowi dan Mahathir Mohamad di Istana Bogor Foto: ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari
ADVERTISEMENT
Presiden Jokowi dan Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad mengirim surat ke Uni Eropa (UE), terkait keberatan tentang diskriminasi kelapa sawit di kawasan Eropa. Surat tersebut dilayangkan pada Minggu (7/4) malam.
ADVERTISEMENT
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan, surat bersama itu telah ditandatangani oleh Presiden Jokowi dan Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad.
"Sudah tulis surat bersama dan tandatangan bersama. Itu tadi malam dikirimnya," ujar Luhut dalam acara Coffee Morning di kantornya, Jakarta, Senin (8/4).
Saat ini, Parlemen Uni Eropa memang sedang melakukan pembahasan terkait keputusan undang-undang penghapusan penggunaan biofuel yang berbasis kelapa sawit di kawasan tersebut. Indonesia dan Malaysia merupakan dua negara terbesar penghasil kelapa sawit.
Pengiriman surat ini merupakan sikap tegas dari Indonesia dan Malaysia atas tindakan UE. Tapi, Luhut enggan menjelaskan secara rinci isi dari surat tersebut.
Intinya, kata dia, surat tersebut mencakup keberatan dan ketegasan dua negara produsen kelapa sawit itu terhadap sikap diskriminasi Uni Eropa.
ADVERTISEMENT
"Isinya keberatan terhadap apa yang diberikan Uni Eropa, tapi kira-kira itu ada ketegasan di dalamnya," lanjut dia.
Pekerja membongkar buah kelapa sawit di unit pemrosesan minyak kelapa sawit milik negara. Foto: REUTERS / Tarmizy Harva
Selain dengan Malaysia, Luhut mengatakan Indonesia akan terus menggandeng negara penghasil kelapa sawit lainnya untuk menyuarakan keberatan terhadap keputusan Uni Eropa, yaitu Kolombia dan Afrika.
Menurut dia, jika Uni Eropa tetap tak merespons keberatan dari surat itu tersebut, pemerintah bakal mendorong pengusaha turut melakukan gugatan melalui Pengadilan Tinggi Uni Eropa (the Court of Justice).
Jika upaya ke Pengadilan Tinggi Uni Eropa tidak berhasil juga, pemerintah bakal melangkah ke pengadilan internasional Organisasi Perdagangan Internasional (World Trade Organization/WTO). Opsi lain, katanya, bakal keluar dari Paris Agreement.
"Tapi karena WTO itu butuh berapa tahun, (lewat) Court of Justice ini lebih cepat. Opsi apa saja juga akan kita jalani, seperti keluar Paris Agreement, AS dan Brasil aja bisa keluar kenapa kita enggak bisa. Hasil karbon paling banyak hutannya kan Indonesia, Brazil dan Kolombia," tuturnya.
ADVERTISEMENT