Kebijakan Pemerintah Dinilai Hambat Pengembangan Energi Surya

27 Februari 2019 18:00 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Seorang warga melintas di bawah panel surya Terminal Tirtonadi, Solo, Jawa Tengah, Rabu (9/1).  Foto: ANTARA FOTO/Mohammad Ayudha
zoom-in-whitePerbesar
Seorang warga melintas di bawah panel surya Terminal Tirtonadi, Solo, Jawa Tengah, Rabu (9/1). Foto: ANTARA FOTO/Mohammad Ayudha
ADVERTISEMENT
Rangkaian kebijakan yang mengatur listrik tenaga surya dianggap menjadi rintangan dalam pengembangan teknologi ramah lingkungan ini, terlepas dari potensi energi surya serta minat pasar di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Demikian temuan kajian yang telah dirampungkan oleh lembaga riset internasional, yaitu Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA). Indonesia dinilai ketinggalan dari tetangganya di kawasan Asia dalam mengembangkan listrik tenaga surya. Para analis IEEFA mendorong pemerintah untuk menyusun kebijakan yang kondusif bagi investasi tenaga surya.
“Walaupun potensi energi surya melimpah di Indonesia, tetapi pemerintah terus menyusun kebijakan yang menjadi rintangan bagi pengembangan listrik tenaga surya, khususnya bagi kebutuhan komersial dan hunian,” ujar peneliti IEEFA dan penulis kajian tersebut, Elrika Hamdi, dalam keterangan tertulis, Kamis (27/2).
Kajian IEEFA menegaskan bahwa hanya 24 MW listrik tenaga surya, termasuk listrik tenaga surya atap, yang saat ini sudah terpasang dan dapat disalurkan melalui jaringan ketenagalistrikan di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan kajian IEEFA, peraturan saat ini menyulitkan investor untuk melihat manfaat finansial yang dapat diperoleh dari pemasangan sistem listrik tenaga surya atap (PLTS atap). Hal ini diakibatkan dari rancangan peraturan PLTS atap itu sendiri.
Berbagai rintangan yang menghalangi pengembangan PLTS yang terkoneksi jaringan, menurut kajian IEEFA, terutama ketentuan BOOT (Built, Operate, Own and Transfer) dimana kepemilikan proyek dialihkan kepada pihak PLN setelah masa kontrak selesai, terlepas dari nilai aset dan manfaat residual yang masih berjalan, jelas mengurangi tingkat keekonomian proyek listrik tenaga surya.
Kedua, memaksa pengembang listrik tenaga surya menggunakan kandungan lokal khususnya panel tenaga surya yang masih mahal dengan kualitas yang lebih rendah ketimbang panel surya impor. "Di saat yang sama, tidak terdapat ruang gerak bagi produsen panel surya lokal untuk mengembangkan kapasitas manufaktur dan produksi dengan skala keekonomian," kata Elrika.
ADVERTISEMENT
Ketiga, memaksa pengembang listrik tenaga surya untuk menerima harga yang dipatok berdasarkan harga listrik baseload berbasis batu bara.
Lebih lanjut, IEEFA menyatakan bahwa pendanaan bukan lah faktor penghambat dalam pengembangan energi surya di Indonesia. “Sebenarnya cukup banyak bank lokal dan asing yang tertarik untuk mendanai proyek listrik tenaga surya skala besar (utility-scale),” ujar Elrika.
Ia menambahkan bahwa masalah terletak di keberadaan proyeknya sendiri. "Akibat berbagai hambatan kebijakan dan regulasi, maka tidak terdapat banyak proyek berkualitas dengan skala yang menarik yang dapat memenuhi persyaratan bank,” ujarnya.
Untuk mengatasi hal tersebut ada beberapa hal yang menjadi rekomendasi dari kajian ini. Pertama, kajian ini menyarankan adanya pendekatan portofolio dimana beberapa proyek listrik tenaga surya kecil dikumpulkan menjadi satu yang dijadikan satu proyek investasi energi terbarukan dengan kualitas dan besaran yang dapat menarik minat berbagai lembaga keuangan.
ADVERTISEMENT
Kedua, kajian ini menyoroti tantangan sumber daya manusia yang masih terbatas dalam industri tenaga surya di Indonesia. Diperlukan investasi besar-besaran untuk mendidik dan melatih para insinyur dan teknisi tenaga surya untuk masa depan. Hal ini menjadi penting bagi transisi Indonesia menuju masa depan energi yang bersih dan berkelanjutan.
Kajian menyimpulkan bahwa terdapat peluang yang nyata, tetapi dibutuhkan kepemimpinan dan kemauan politik agar hambatan-hambatan ini dapat diatasi. "Apabila Indonesia tidak segera menyongsong masa depan energi yang bersih dan berkelanjutan maka kita terpaksa harus menanggung biaya ekonomi, lingkungan hidup dan sosial yang berat akibat kesempatan yang hilang,” pungkasnya.