Kebijakan Satu Peta Butuh Dana Swasta

26 Maret 2019 19:25 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Petani menyemprotkan cairan pestisida di lahan perkebunan karet Renah Pamenang, Merangin, Jambi, Selasa (26/2/2019). Foto: ANTARA FOTO/Wahdi Septiawan
zoom-in-whitePerbesar
Petani menyemprotkan cairan pestisida di lahan perkebunan karet Renah Pamenang, Merangin, Jambi, Selasa (26/2/2019). Foto: ANTARA FOTO/Wahdi Septiawan
ADVERTISEMENT
Pemerintah mencari alternatif pendanaan untuk membuat kebijakan satu peta atau one map policy. Kebijakan ini dilakukan untuk mencegah tumpang tindih penggunaan lahan.
ADVERTISEMENT
Kebijakan satu peta tersebut juga dapat dimanfaatkan untuk pemerataan ekonomi, percepatan pembangunan infrastruktur dan pengembangan wilayah, serta diharapkan dapat mendukung penyelesaian konflik tumpang tindih pemanfaatan ruang dan perizinan.
Kepala Badan Informasi Geospasial (BIG) Hasanuddin Zainal Abidin mengatakan, pendanaan alternatif non-APBN diperlukan lantaran anggaran BIG tak mencukupi untuk membereskan seluruh permasalahan lahan. Menurutnya, anggaran BIG hanya sekitar Rp 700 miliar di tahun ini.
"Kita mau cari pendanaan, enggak dari pendanaan pemerintah. Misalnya perusahaan sawit, kan mereka punya banyak uang dan perlu peta, mungkin 1:1.000 atau 5.000, nah penginnya pendanaan mereka standar BIG dan ini mulai," ujar Hasanuddin di Kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta, Selasa (26/3).
Perkebunan Kelapa Sawit Asian Agri. Foto: Jafrianto/kumparan
Adapun aturan pendanaan tersebut nantinya akan bersifat kemitraan antara pemerintah dan nonpemerintah. Namun demikian, Hasanuddin enggan menjelaskan lebih lanjut lantaran masih dalam tahap penyusunan.
ADVERTISEMENT
"Saya bilang ke Pak Darmin ini sedang disusun lah aturan kemitraan pemerintah dan nonpemerintah," kata dia.
Dia pun mengakui, saat ini kebijakan satu peta masih terkendala tumpang tindih perizinan lahan. Contohnya, suatu wilayah memiliki lahan Hak Guna Usaha (HGU) pada 1994, namun tiba-tiba keluar SK Menteri Kehutanan bahwa lahan tersebut merupakan hutan produksi.
"Tapi ada juga mungkin izin yang satu keluar dari pusat, yang satu keluar dari daerah. Tumpang tindih kalau di lapangan enggak kelihatan, kalau begini tiba-tiba begitu, direkonstruksi lapangan masuk ke wilayah dana juga, masuk ke izin satu lagi. Ini bagaimana menyelesaikannya, sedang kami usahakan," jelasnya.