Kelapa Sawit Dihambat, RI dan Malaysia Akan Gugat Uni Eropa ke WTO

18 Maret 2019 18:55 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Kelapa sawit di kebun Sawindo Kencana. Foto: Marcia Audita/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Kelapa sawit di kebun Sawindo Kencana. Foto: Marcia Audita/kumparan
ADVERTISEMENT
Pemerintah Indonesia telah menyiapkan langkah strategis untuk menyikapi keputusan Parlemen Uni Eropa (UE) jika keputusan menyetop kelapa sawit untuk kebutuhan bahan bakar atau Biofuel secara resmi diberlakukan.
ADVERTISEMENT
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution menyatakan, akan menggugat persoalan pelarangan kelapa sawit ini ke organisasi perdagangan dunia (WTO) bersama delegasi Malaysia.
"Yang penting bagi kita begitu dia resmi oleh Parlemen Eropa itu waktunya kita bisa menggugatnya (ke) WTO. Tentu apa yang akan dilakukan kalau kita lebih dahulu tidak masalah," katanya saat konferensi pers di Gedung Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jakarta Pusat, Senin (18/3).
Adapun keputusan menggugat ke WTO tersebut setelah UE memiliki keputusan resmi terkait kebijakan pelarangan kelapa sawit untuk campuran bahan bakar. Waktu yang dibutuhkan UE meresmikan kebijakan ini maksimal 2 bulan, terhitung sejak 13 Maret 2019.
Menko Perekonomian Darmin Nasution (kedua kiri) menyampaikan keterangan usai rapat koordinasi tentang kelapa sawit dan keanekaragaman hayati di Kantor Kemenko Perekonomian di Jakarta, Senin (4/2). Foto: ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay
Langkah ini merupakan tindak lanjut dari kesepakatan dari 6th Minister Meeting Council Palm Oil Producing Countries (CPOPC) yang diselenggarakan pada 28 Februari 2019. Saat itu, ada tiga negara produsen terbesar minyak sawit dunia yaitu Indonesia, Malaysia dan Kolombia.
ADVERTISEMENT
Ketiganya menyepakati untuk memberikan tanggapan mengenai langkah-langkah diskriminatif yang muncul dari rancangan peraturan Komisi Eropa, yaitu Delegated Regulation Supplementing Directive 2018-2001 of the EU Renewable Energy Directive II.
Darmin menilai, tindakan diskriminatif dari kebijakan Parlemen Eropa yaitu dengan tidak adanya kajian ilmiah yang komprehensif membahas dampak dari penanaman kelapa sawit. Ia pun menjelaskan, perbandingan produktivitas kelapa sawit dibanding tumbuhan minyak nabati lainnya seperti rapeseed (bunga matahari).
"CPO, minyak kelapa sawit itu tidak bisa dibantah itu berapa kali lipat lebih produktif dari semua vegetable oil, (seperti) bunga matahari, rapeseed. Bedanya satu hektare (ha) tanah itu kalau ditanam kelapa sawit bisa menghasilkan 8-10 ton misalnya. Tapi kalau yang lainnya hanya 1 ton," katanya.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, pemerintah turut mempertimbangkan terkait banyaknya lapangan kerja yang bisa diserap pada sektor ini. Berdasarkan catatan Darmin, saat ini ada sekitar 16-17 juta ha lahan sawit di Indonesia.
"Oleh karena itu (kita) melihat pula bahwa begitu banyak orang yang hidup dengan kelapa sawit. Maka Indonesia itu ingin membicarakan sawit secara adil tidak diskriminatif," katanya.
Padahal selama ini pemerintah telah merancang kebijakan terkait keramahan lingkungan bagi sektor kelapa sawit atau yang biasa disebut Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO).
Hal ini sebagai langkah untuk keberlanjutan industri dan bisnis kelapa sawit agar berdaya saing ekspor yang tentunya meminimalisir kerusakan lingkungan.
"Tetapi pemerintah sudah menyiapkan banyak langkah sehingga yang namanya kelapa sawit itu jadi sustainable. Dengan kebijakan me-replanting kelapa sawit rakyat. Dan pemerintah telah melakukan program moratorium kelapa sawit," katanya.
ADVERTISEMENT
Saat ini, kebutuhan UE untuk penggunaan kelapa sawit sebagai bahan bakar mencapai 64 persen. Adapun sisanya sebagai kebutuhan makanan dan minuman.