Kemendagri Soal Pajak Rokok untuk BPJS: Bisa Kurangi Pendapatan Daerah

19 September 2018 12:56 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Soni Soemarsono melayani keluhan warga (Foto: Aria Pradana/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Soni Soemarsono melayani keluhan warga (Foto: Aria Pradana/kumparan)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) turut memberikan komentar soal penerbitan Peraturan Presiden (Perpres) Pajak Rokok untuk menutupi defisit anggaran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.
ADVERTISEMENT
Hingga akhir 2018, berdasarkan audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) defisit BPJS Kesehatan diproyeksikan mencapai Rp 10,98 triliun.
Dirjen Otonomi Daerah Kemendagri Soni Sumarsono menyampaikan hingga saat ini masih belum ada langkah-langkah petunjuk yang jelas untuk mengambil dan memotong pajak rokok untuk menambal defisit BPJS Kesehatan.
"Tapi arah kebijakan yang jelas mengenai, berkaitan dengan pajak, itu semua adalah bagian dari wacana, dalam proses pembahasan, saya sendiri yang membahas produk daerah, belum ada arahan untuk kemudian memberikan, memberlakukan kebijakan tersebut," kata Soni Sumarsono di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu (19/9).
Ia tak menampik, Perpres baru ini bisa mengurangi Pendapatan Asli Daerah (PAD) karena penerimaan pajak rokok cukup besar membantu anggaran daerah. Total pajak rokok yang dialokasikan untuk BPJS Kesehatan ialah 75 persen dari 50 persen alokasi pajak rokok. Selama ini, pemanfaatan pajak rokok minimal 50% untuk mendanai pelayanan kesehatan dan penegakan hukum oleh aparat yang berwenang.
Pasien peserta BPJS akan melakukan pemeriksaan di RS Bahteramas, Kendari, Sulawesi Tenggara, Selasa (31/7). (Foto:  ANTARA FOTO/Jojon)
zoom-in-whitePerbesar
Pasien peserta BPJS akan melakukan pemeriksaan di RS Bahteramas, Kendari, Sulawesi Tenggara, Selasa (31/7). (Foto: ANTARA FOTO/Jojon)
ADVERTISEMENT
"Ada dua sisi rokok. Kalau dikurangi, PAD akan kurang, pendapatan yang masuk ke daerah. Berarti kan dia harus mencari sumber-sumber lain pendapatan daerah, dengan berbagai cara. Kedua, kalau tidak dikurangi, kita mendorong orang untuk merokok terus. Itu jelas tidak sehat. Ini dilema untuk pendapatan daerah," lanjut dia.
Karena itulah, Soni menjelaskan solusi yang baik ketika pendapat PAD berkurang, harus dicarikan insentif, sumber pendapatan yang lain. Entah dari pusat pembagian yang lebih besar, sehingga kompensasinya itu ada.
"Artinya semakin bergantung pada pusat. Ini berarti akan mengurangi kualitas otonomi daerah. (Insentif diambil dari pos mana) ya enggak tahu. Yang jelas kan perimbangan keuangan pusat dan daerah itu kayak hukum Archimedes," ucap Soni Sumarsoni.
ADVERTISEMENT
"Kalau yang tinggi dinaikkan, ini turun ke sini. Sebenarnya mencari keseimbangan saja pusat dan daerah. Insentif dari mana? Gampang. Pusat dikurangi sedikit, dikasih ke daerah, bisa. Sumber pendapatan banyak," bebernya.
Pengalokasian pajak rokok untuk menambal defisit BPJS Kesehatan bisa membuat kulitas otonomi daerah berkurang sehingga penerapan pemotongan ini harus dibahas secara detail.
"Karena sekarat ini sudah sangat bergantung pada pusat. Oleh karena itu harus ada solusi lain, ibarat berkurang satu ya bertambah satu. Kalau enggak gitu daerah gimana? Bappeda juga sama. Kembang kempis kok," tuturnya.