Kementerian Baru Bukan Jaminan Ekonomi RI Membaik

17 Oktober 2019 10:43 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Presiden dan Wakil Presiden terpilih periode 2019-2024, Joko Widodo (kiri) dan Ma'ruf Amin memberikan smabutan usai menerima surat keputusan KPU tentang Penetapan Hasil Pemilu 2019 di gedung KPU, Jakarta. Foto: ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari
zoom-in-whitePerbesar
Presiden dan Wakil Presiden terpilih periode 2019-2024, Joko Widodo (kiri) dan Ma'ruf Amin memberikan smabutan usai menerima surat keputusan KPU tentang Penetapan Hasil Pemilu 2019 di gedung KPU, Jakarta. Foto: ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari
ADVERTISEMENT
Presiden Joko Widodo (Jokowi) berencana membuat kementerian baru di masa pemerintahan keduanya nanti. Hal ini dilakukan demi mendorong perekonomian domestik.
ADVERTISEMENT
Rencananya, Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) akan diubah menjadi Kementerian Investasi. Selain itu, Kementerian Perdagangan (Kemendag) nantinya juga akan dilebur sebagian ke Kementerian Perindustrian (Kemenperin) dan Kementerian Luar Negeri (Kemenlu). Ada juga rencana mengubah Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) yang baru seumur jagung itu menjadi Kementerian Digital dan Ekonomi Kreatif.
Namun, rencana tersebut justru mendapat kritikan dari para ekonom. Jokowi diminta lebih fokus memaksimalkan kinerja kementerian yang telah ada.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira mengatakan, membuat kementerian baru belum tentu menyelesaikan permasalahan yang ada. Contohnya Kementerian Investasi, demi mendongkrak modal asing maupun domestik masuk ke Tanah Air, menurutnya bukan kementerian baru yang diperlukan, melainkan kemudahan regulasi dan perizinan.
ADVERTISEMENT
"Membuat kementerian baru belum tentu menyelesaikan permasalahan tersebut. Untuk naikkan investasi bukan mengganti yang sudah ada dengan yang baru, enggak ada jaminan,” ujar Bhima kepada kumparan, Kamis (17/10).
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Bhima Yudhistira. Foto: Muhammad Fadli Rizal/kumparan
Bhima menilai, wacana tersebut memberatkan dari sisi efektivitas kerja serta anggaran pembentukan kementerian. Dari sisi efektivitas misalnya, BKPM selama ini sudah dikenal investor sebagai lembaga yang membawahi urusan investasi.
Hanya saja, jelas Bhima, masih ada ego sektoral di kementerian dan lembaga. Izin investasi misalnya, sering bersinggungan dengan kementerian lainnya, seperti Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), serta pemerintah daerah.
Sementara dari sisi anggaran, dibutuhkan dana yang besar. Bhima mencontohkan, pemerintah juga perlu memastikan adanya dana untuk kebutuhan kementerian baru.
ADVERTISEMENT
"Belum biaya gedung dan sumber daya manusia. Tentu sangat mahal. Jangan sampai menambah beban APBN di tengah kenaikan utang," jelasnya.
Untuk meningkatkan ekspor, Bhima menyarankan pemerintah untuk mempercepat perluasan pasar baru, dibandingkan membuat kementerian khusus. Opsi lainnya adalah anggaran tim negosiasi dagang ditingkatkan.
“Atau bisa juga menambah tugas kedutaan besar serta atase perdagangan untuk mencari pasar baru sampai peluang ekspor di negara penempatan,” jelas dia.
Selain itu, Direktur Riset Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Piter Abdullah mengatakan, kementerian tersebut tak akan efektif jika tak dibarengi dengan kebijakan mendatangkan investor untuk menanamkan dananya.
"Saya tidak sependapat dengan rencana pembentukan Kementerian Investasi. Kita tidak butuh kementerian atau lembaga baru, kita butuh kebijakan yang tepat yang bisa hapus semua hambatan investasi," ujar Piter.
ADVERTISEMENT
Menurut Piter, adanya kementerian baru justru dikhawatirkan menghambat investasi karena adanya dua lembaga. Hal ini pun bisa membingungkan calon investor.
"Khawatirnya bentrok dengan BKPM kan, jadi harus jelas seperti apa nantinya," katanya.
Suasana Pabrik Sritek. Foto: Feby Dwi Sutianto/kumparan
Sebelumnya, Ekonom Universitas Indonesia (UI) Faisal Basri memandang, kebijakan yang akan dibuat Jokowi itu tak sesuai kebutuhan. Sebab menurut dia, sebenarnya investasi asing yang masuk ke Indonesia tidak buruk.
"Diagnosisnya (diagnosis) salah. Indonesia nilai investasinya 32,3 persen terhadap PDB (Produk Domestik Bruto), levelnya di atas rata-rata upper middle income, apalagi yang lower. Kita above average. Di era Jokowi naiknya sudah pol, tidak bisa dipaksa macam F1. Kebakaran nanti mobilnya," kata Faisal.
Dia menambahkan, hal yang semestinya diperhatikan ialah kontribusi investasi terhadap pertumbuhan ekonomi. Faisal menilai, nilai investasi yang masuk sudah tumbuh signifikan, namun roda perekonomian tidak terkerek.
ADVERTISEMENT
"Masalahnya adalah investasi yang banyak itu hasilnya sedikit. Misalnya jadi untuk membuat secangkir kopi itu, produksi 1 sachet gula butuh modal 6 unit. Di Vietnam cuma 4, jadi kita itu boros," ‎beber Faisal.
Hal itu tergambar dalam rasio penambahan modal terhadap pertumbuhan ekonomi atau Incremental Capital Output Ratio (ICOR). Semakin rendah ICOR, makin tinggi efisiensi investasi. Begitu pula sebaliknya.
Berdasarkan data dari Bappenas ‎yang dikutip Faisal Basri, ICOR Indonesia sejak 2010 terus naik, pada tahun ini diprediksi sekitar 6 persen. Sementara berdasar riset Lembaga Penyelidikan Ekonomi Masyarakat FE UI, rata-rata ICOR Indonesia pada 2014-2018 sebesar 5,88.
"Kalau Pak Jokowi mau (ekonomi) tumbuh 7 persen, turunkan saja ICOR jadi 4,6 persen," tegasnya.
ADVERTISEMENT