Kesenjangan Upah di Desa dan Kota, Anak Muda Tak Mau Jadi Petani

21 Juni 2018 7:53 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Petani menggunakan persawahan sistem tumpang sari (Foto: ANTARA FOTO/Aji Styawan)
zoom-in-whitePerbesar
Petani menggunakan persawahan sistem tumpang sari (Foto: ANTARA FOTO/Aji Styawan)
ADVERTISEMENT
Kesenjangan upah antara buruh tani dan buruh perkotaan menjadi salah satu faktor ramainya masyarakat desa memutuskan mengadu nasib di perkotaan. Tak sedikit masyarakat desa yang memilih pindah ke kota, sebelumnya bekerja sebagai petani.
ADVERTISEMENT
Alasannya sederhana, upah menjadi buruh di kota dirasa lebih menggiurkan dibanding menjadi buruh tani di desa. Di Jakarta sendiri, para buruh yang bekerja di sebuah industri dibayar sebesar Rp 3,6 juta per bulannya. Sementara di Bekasi dan Karawang dibayar sebesar Rp 3,9 juta.
"Sementara, petani secara umum di desa itu berdasarkan survei Badan Pusat Statistik tahun 2015 hanya mendapat upah sebesar Rp 1.050.000 per rumah tangga petani," kata Ketua Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI) Dwi Andreas Santosa.
Dia menambahkan bahwa laju urbanisasi masyarakat desa ke kota sulit dihindari. Sebab, selain karena kesejahteraan petani yang belum menjanjikan, proses industrialisasi yang terjadi saat ini juga menjadi faktor lainnya.
"Profesi petani itu kalah pamor dengan industri dan jasa di perkotaan. Sehingga, mereka lebih memilih alih profesi. Saat ini trennya semakin berubah, makin banyak orang yang akan alih profesi," ujarnya.
ADVERTISEMENT
Hal ini pula, lanjut Dwi, menjadi alasan kalangan muda enggan terjun dalam sektor pertanian. Para pekerja di sektor pertanian saat ini didominasi petani tua berusia di atas 35 tahun. Sementara, berdasarkan Sensus Pertanian 2013, petani muda berusia di bawah 35 tahun hanya 13%.
"Urbanisasi akan sulit dihindari. Apalagi pertanian saat ini dianggap tidak menarik bagi kalangan muda. Daya tarik masyarakat saat ini tengah bergeser ke industri dan yang ada di kota," katanya.