Luhut: Indonesia Keluar dari Kesepakatan Paris, Kenapa Tidak?

8 April 2019 19:49 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Kelapa Sawit yang sudah diambil dari pohonnya. Foto: Abdul Latif/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Kelapa Sawit yang sudah diambil dari pohonnya. Foto: Abdul Latif/kumparan
ADVERTISEMENT
Pemerintah tengah memperjuangkan nasib kelapa sawit yang tengah didiskriminasi oleh Uni Eropa. Yang teranyar, Presiden Joko Widodo dan Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad berkirim surat protes ke Parlemen Uni Eropa pada Minggu (7/4) malam.
ADVERTISEMENT
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman, Luhut Binsar Pandjaitan, mengatakan, jika Uni Eropa tetap keras kepala dan tak mau berunding, Indonesia akan mengambil berbagai langkah lain, seperti mengadukan ke Parlemen Uni Eropa atau hingga ke WTO.
Lebih dari itu, dia juga mempertimbangkan opsi Indonesia bakal keluar dari Kesepakatan Paris atau Paris Agreement.
"Opsi-opsi apa saja kita akan jalani, seperti keluar dari Paris Agreement, AS dan Brasil saja bisa, kenapa kita enggak bisa? Hasil karbon paling banyak hutannya kan Indonesia, Brasil, dan Kolombia. Kolombia kan punya hutan besar, semua negara berkembang yang kena," kata dia dalam acara Coffee Morning di kantornya, Jakarta, Senin (8/4).
Luhut menjelaskan, dia serius dengan rencana ini karena bagian dari mempertahankan sawit Indonesia. Jika sawit Indonesia terus didiskriminasi, nasib 20 juta petani sawit bakal terancam. Dia malah mempertanyakan apa yang didapat Indonesia dari perjanjian lingkungan dalam Kesepakatan Paris.
ADVERTISEMENT
Dia juga meminta para Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) seperti Greepeace untuk lebih meningkatkan sisi nasionalismenya bahwa banyak petani sawit yang bakal menjadi korban dari diskiriminasi Uni Eropa ini.
"Apa sih yg sudah kita dapat dari climate change? Jujur dong. Yang LSM itu tanya dong, tanya hati nurani. Lalu apa yang sudah hilang? Jadi kita harus lihat dari national interest dan kita harus berani harus lakukan itu. Kita juga harus fight dong," lanjut dia.
Luhut ingin para LSM lingkungan yang mengkritik kebijakan sawit pemerintah agar tahu bahwa dengan melawan diskiriminasi Uni Eropa terhadap komoditas kelapa sawit, bukan berarti pemerintah mengabaikan isu lingkungan hidup.
Kata dia, selama ini pemerintah pun terus berupaya melakukan perbaikan lingkungan hidup. Contohnya, adalah pembenahan Sungai Citarum. Di sisi lain, terkait kebutuhan penggunaan lahan untuk perkebunan kelapa sawit menurutnya jauh lebih sedikit ketimbang komoditas kedelai.
ADVERTISEMENT
"Lalu juga sudah ada 14 juta hektare (kelapa sawit) yang sudah moratorium, jadi tidak akan ada lagi pembukaan lahan baru," katanya.
Menko Maritim Luhut Panjaitan (tengah) dalam Pertemuan Forum Bilateral dengan Dubes Belanda di Kuningan, Jakarta, Rabu (20/2). Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
Pemerintah, kata dia, juga berupaya mengendalikan antara suplai dan permintaan kelapa sawit, sehingga diharapkan semakin meningkatkan harga komoditas ini disekitar USD 800-900 per ton. Selain itu, pemerintah mendorong produktivitas melalui program replanting yang kini tengah dijalankan, juga dengan meningkatkan kualitas bibit. Dengan begitu, Luhut mengklaim bakal memberikan keuntungan bagi petani.
"Jadi saya berharap LSM Indonesia juga merasa terpanggil. Ada 20 juta petani, jadi jangan bicara masalah soal lingkungan saja. LSM-LSM kita nasionalismenya dibangkitkan," tutupnya.
Sebagai catatan, keterlibatan Indonesia dalam Kesepakatan Paris merupakan komitmen Presiden Joko Widodo sebagaimana disampaikan pada COP 21 UNFCCC di Paris, Indonesia akan terlibat dalam upaya menanggulangi perubahan iklim yang merupakan masalah global. Indonesia juga berkomitmen untuk menurunkan emisi sebesar 29 persen dengan upaya sendiri dan 41 persen dengan bantuan Internasional sebagaimana tertuang dalam Nationally Determined Contribution (NDC).
ADVERTISEMENT
Kesepakatan Paris tersebut juga telah diratifikasi dalam UU Nomor 16 Tahun 2016 oleh DPR RI. Artinya selain bertentangan dengan komitmen Presiden Joko Widodo, pernyataan Luhut Binsar Panjaitan tersebut juga melangkahi kewenangan DPR RI karena tidak atas persetujuan parlemen.