Membandingkan Perlindungan Konsumen Properti di Australia vs Indonesia

1 November 2018 7:13 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Founder yang juga CEO Development Crown Group, Iwan Sunito. (Foto: Wendiyanto/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Founder yang juga CEO Development Crown Group, Iwan Sunito. (Foto: Wendiyanto/kumparan)
ADVERTISEMENT
Setiap negara termasuk Indonesia dan Australia, memiliki aturan yang berbeda dalam bisnis properti. Industri yang satu ini memang berkembang di semua negara, karena kebutuhan rumah dan bangunan lainnya tak mengenal batas wilayah.
ADVERTISEMENT
Di Indonesia sendiri, sektor properti khususnya perumahan, termasuk yang banyak dikeluhkan oleh konsumen. Hal ini mengacu pada data Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN). Sepanjang semester I tahun 2018 ini misalnya, dari 241 pengaduan yang diterima BPKN, hampir 90 persen terkait perumahan.
Dibandingkan di Indonesia, Australia mempunyai sejumlah aturan di industri properti yang lebih melindungi konsumennya. Hal ini diakui pengusaha properti asal Indonesia di Australia, Iwan Sunito.
“Di sini (Sydney), kita belum bisa terima uang konsumen sampai unit yang kita bangun siap huni dan diserahterimakan ke konsumen,” kata Founder yang juga CEO Development Crown Group, di kantornya di Sydney, Selasa (30/10). Sehingga menurutnya, kalau proyek properti sampai gagal dibangun, konsumen tidak akan kehilangan uang mereka.
Seorang calon konsumen mendapat penjelasan dari staf pemasaran proyek Mastery milik perusahaan properti Crown Group di Sydney, Australia. (Foto: Wendiyanto/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Seorang calon konsumen mendapat penjelasan dari staf pemasaran proyek Mastery milik perusahaan properti Crown Group di Sydney, Australia. (Foto: Wendiyanto/kumparan)
Iwan yang sudah lebih dari 20 tahun memimpin Crown Group menilai, kuatnya perlindungan bagi konsumen properti di Australia dimulai sejak proses perizinan oleh pengembang. Berbeda dengan di Indonesia dimana perizinan dikeluarkan pemerintah, di Sydney izin diterbitkan oleh sebuah dewan.
ADVERTISEMENT
“Di dewan itu pemerintah kota hanya salah satu anggotanya dengan porsi dua suara. Anggota lainnya ada tiga orang yang berasal dari konsultan independen. Jadi porsi suara yang independen ini lebih kuat,” paparnya. Dia menambahkan, selama regulasinya diikuti izin pasti keluar dan waktu pemrosesan izinnya pun sudah bisa dipastikan.
Menurutnya, jika izin proyek properti sulit keluar, pada akhirnya konsumen juga yang akan dirugikan. Karena hal ini akan mengurangi pasokan, akibatnya harga properti naik dipicu oleh kelangkaan.
Setelah izin keluar, pengembang juga tidak dapat langsung menerima pembayaran dari konsumen. Uang muka yang dikeluarkan konsumen dihimpun dalam sebuah trust account, di bawah pengawasan konsultan hukum. Modal kerja proyek sendiri berasal dari pengembang dan kredit bank.
ADVERTISEMENT
“Proyek-proyek Crown Group itu sekitar 30 persen dibiayai modal sendiri, sisanya (kredit) dari bank,” ujar Iwan.
Proyek apartemen Infinity milik Crown Group di Sydney, Australia, yang masih dalam tahap pengerjaan.  (Foto: Wendiyanto/kumparan))
zoom-in-whitePerbesar
Proyek apartemen Infinity milik Crown Group di Sydney, Australia, yang masih dalam tahap pengerjaan. (Foto: Wendiyanto/kumparan))
Sementara di Indonesia, pembayaran dari konsumen umumnya menjadi bagian modal kerja pengembang. Akibatnya, jika angka penjualan di bawah target, proyek bisa terhambat. Ujung-ujungnya konsumen yang sudah membayar yang dirugikan.
“Di Indonesia kalau developernya bangkrut, uang konsumen bisa hilang. Dan pemerintah juga enggak bisa ikut campur. Artinya masalah perdata, bukan masalah pidana,” tandasnya.