Mempertanyakan Kualitas (Lulusan) Sekolah Pilot

1 Februari 2018 16:06 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Di tengah deras hujan, Wahyu--bukan nama sebenarnya--menceritakan kegelisahannya sore itu, Senin (15/1). Cita-citanya menjadi seorang pilot tertahan. Setelah lulus di tahun 2016, hingga kini Wahyu tak juga memperoleh pekerjaan.
ADVERTISEMENT
“Tahun 2013 banyak kutipan menyebutkan bahwa di tahun 2015 ke atas Indonesia membutuhkan minimal 500 pilot dalam satu tahun,” ujar Wahyu memulai ceritanya.
Seraya mengenang, Wahyu menceritakan, menjadi pilot adalah cita-citanya sejak kecil. Berangkat dari keluarga sederhana, Wahyu tak kecil hati untuk mewujudkan impiannya.
Gencarnya pemberitaan tentang kebutuhan pilot di Indonesia meyakinkan Wahyu bahwa menjadi pilot memiliki peluang kerja yang menjanjikan. Dengan waktu pendidikan yang singkat serta iming-iming gaji besar, profesi pilot tampak sangatlah menggiurkan.
Rangkaian tes untuk masuk sekolah penerbangan sedikit berbeda dengan sekolah-sekolah tinggi lainnya. Mulai dari tes kesehatan jasmani dan rohani, tes akademik, hingga kemampuan bahasa Inggris harus ia lalui demi masuk sekolah pilot.
ADVERTISEMENT
Asa Wahyu kian membumbung tinggi tatkala melihat para taruna senior--dua tahun di atasnya--tak perlu melamar pekerjaan. Pihak maskapai lebih dulu aktif menghubungi para calon pilot itu untuk bekerja di maskapainya. Bahkan ketika wisuda di tahun 2015, diumumkan bahwa setiap lulusan sekolahnya telah direkrut oleh masing-masing maskapai.
Waktu satu tahun ternyata banyak mengubah keadaan.
Wahyu yang lulus di tahun 2016 tak sempat mencicipi manisnya dihubungi maskapai yang hendak merekrut pilot dan kepastian mendapat pekerjaan setelah lulus. Berulang kali sudah ia melamar pekerjaan, tetapi hasilnya masih saja nihil. Setahun menganggur menjadi kenyataan pahit yang harus ia telan.
ADVERTISEMENT
Wahyu adalah satu dari ratusan pilot yang bernasib sama: menganggur. Situasi yang dihadapi cukup pelik, karena saat ini Indonesia sedang mengalami surplus pilot.
Pada September 2017, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi mengatakan ada sekitar 1.200 pilot belum mendapat pekerjaan.
“Memang patut disayangkan, di saat industri penerbangan nasional sedang tumbuh tapi ternyata masih ada ribuan pilot yang sekolah penerbangan masih belum bekerja,” ujar Menhub Budi Karya, dikutip dari Antara, Kamis (7/9).
Sementara pada pertengahan Januari 2018, masih menurut Menhub Budi Karya, tercatat 556 pilot pemula sepanjang 2017 yang belum terserap industri. Entah berapa angka pastinya.
“Kalau pilot agak terukur, dulu itu (pengangguran) 1.200 pilot, sekarang kira-kira 600 atau 700. Dari situ, kita akan didik 200 orang dan sudah berjalan,” papar Menhub Budi Karya kepada kumparan, Rabu (17/1).
ADVERTISEMENT
Kebanjiran pilot beberapa tahun terakhir ini beriringan dengan tutupnya maskapai penerbangan seperti Batavia Air (2013) dan Merpati Nusantara Airlines (2014). Sementara itu jumlah sekolah penerbangan justru menjamur sejak 2013, ketika ramai gembar-gembor Indonesia kekurangan pilot.
Sekolah pilot STPI. (Foto: Jafrianto/kumparan)
Menjamurnya Sekolah Penerbangan
Seruan kekurangan pilot empat tahun lalu, mendorong lahirnya sekolah-sekolah penerbangan swasta baru dibuka. Bahkan pelbagai maskapai pun turut membuka sekolah penerbangan demi memenuhi kebutuhan pilot maskapainya.
“Tahun 2012-2013 susah banget cari pilot. Saya sendiri pada saat itu harus mencari pilot. Ada sekitar 80-100 orang (pilot yang di impor) pada saat itu,” kata Manajer HRD Sriwijaya Group, Agus Setiawan, kepada kumparan, Rabu (17/1).
Di tahun itu, saking sulitnya mencari pilot, membuat Sriwijaya Group mengimpor pilot dari luar negeri. Pilot-pilot dicari dari Malaysia, India, Korea, Amerika, hingga Eropa.
ADVERTISEMENT
Langkah lain yang diambil Sriwijaya Group--sebagai induk Sriwijaya Air dan Nam Air--adalah dengan mendirikan sekolah penerbangannya sendiri, yakni NAM Flying School pada 2013. Hal serupa juga dilakukan Lion Air Group yang memiliki Angkasa Aviation Academy. Tujuannya, apalagi jika bukan memenuhi kebutuhan maskapai akan pilot.
Bahkan sejak tahun 2017, Sriwijaya Group menerapkan kebijakan untuk tak lagi menerima pilot dari luar dan mengutamakan merekrut pilot dari NAM Flying School.
Menurut Agus, hal itu dilakukan karena Sriwijaya Group sendiri belum mampu menyerap seluruh lulusan pilot baru dari NAM Flying School. “Kita aja banyak yang menganggur gitu. Kita (ada) lulusan satu batch-nya aja ada sekitar 20-30 orang,” lanjutnya.
Selain itu, untuk tahun 2018, pihak Sriwijaya Group belum tentu membuka rekrutmen pilot baru. Hal itu dilakukan karena hingga saat ini Sriwijaya Group merasa sudah cukup dengan pilot yang dimiliki.
ADVERTISEMENT
“Kelihatannya sudah cukup. Untuk sementara kita enggak buka dulu. Belum ada planning untuk membuka (rekrutmen) dulu,” kata Agus.
Menerka masa depan pilot (Foto: Jafrianto/kumparan)
Selain NAM Flying School, total tercatat ada 22 sekolah penerbangan di Indonesia berstatus sekolah negeri ataupun swasta yang bermunculan setelah 2013. Dari 22 sekolah itu, setidaknya dihasilkan 900 ab initio (pilot pemula) setiap tahunnya.
“Per tahun, kita hanya membutuhkan 150-200 pilot baru, itu pun ditambah ada yang pensiun juga. Sedangkan lulusan sekolah pilot yang ada, bisa mencapai 900 orang per tahun," kata Budi Karya di Hotel Grand Mercure Kemayoran, Jakarta, Rabu (24/1).
“Sampai 2015 itu pertumbuhan maskapai kan kurvanya naik. Setelah 2015 itu praktis datar,” ujar Menhub selanjutnya. Jumlah pilot di maskapai penerbangan yang ada di Indonesia saat ini sebanyak 2.000 orang. Sementara penambahan jumlah pesawat di Indonesia hanya sebesar 5 persen saja. Sehingga antara kebutuhan dan ketersediaan pilot tak sebanding.
ADVERTISEMENT
Menurut Menhub, salah satu penyebab banjirnya pilot karena, “Banyak sekolah-sekolah (penerbangan) dibuat, bahkan ada sekolah yang ngaco.”
Catatan Kementerian Perhubungan menunjukkan, delapan dari 19 sekolah penerbangan swasta di Indonesia itu tidak memenuhi kelaikan prosedur.
Maka, Kementerian Perhubungan pun bersiap menutup sekolah-sekolah yang tidak layak dan meminta sekolah penerbangan swasta lainnya untuk merger. “Sekarang ini ada dua sekolah yang saya tutup, satu sekolah status peringatan,” papar Menhub Budi Karya.
“Kalau merger sendiri dilakukan karena lulusan sekolah pilot per tahun melebihi kebutuhan,” ujarnya. Selain untuk mengurangi lulusan pilot, kebijakan merger diharapkan bisa membantu sekolah-sekolah dengan fasilitas yang kurang memadai untuk saling melengkapi.
Penutupan sekolah penerbangan yang tidak layak itu direncanakan pada Februari 2018, sementara merger sekolah diharapkan selesai pada 2019. Kebijakan ini diambil setelah melakukan penilaian terhadap sekolah-sekolah penerbangan swasta yang ada.
ADVERTISEMENT
Penilaian dilakukan berdasarkan beberapa aspek, antara lain: kurikulum pengajaran, jumlah dan kualitas tenaga pengajar, hingga ketersediaan dan kelaikan pesawat untuk praktik pendidikan.
Selain dua kebijakan tersebut, Kementerian Perhubungan juga tidak akan mengeluarkan izin baru bagi sekolah penerbangan swasta yang akan dibuka.
Siswa pilot di STPI. (Foto: Jafrianto/kumparan)
Mempertanyakan Kualitas Lulusan Sekolah Pilot
Biaya untuk bisa duduk di sekolah penerbangan memang terbilang mahal, apalagi sekolah swasta. Total biaya yang diperlukan di sekolah negeri, dengan proses seleksi yang jauh lebih ketat, berada di kisaran Rp 48 juta - Rp 80 juta.
Sementara untuk sekolah swasta, biaya yang diperlukan mencapai ratusan juta rupiah mulai dari Rp 251 juta hingga Rp 650 juta. Iming-iming yang dijanjikan, misalnya, adalah waktu sekolah yang lebih singkat hanya 8 bulan.
Biaya sekolah penerbangan di Indonesia (Foto: Chandra Dyah Ayuningtyas/kumparan)
“Jadi motifnya bukan mendidik tapi cuma mencari uang. Boleh cari uang tapi konsep mendidik, idealisme, dan pertanggungjawaban terhadap alumni harus ditekankan,” tegas Menhub.
ADVERTISEMENT
Sehingga banyak lulusan yang akhirnya dianggap tidak memenuhi kualifikasi yang dibutuhkan maskapai penerbangan, salah satunya kemampuan bahasa Inggris. Sementara bahasa Inggris memang sangat diperlukan untuk berkomunikasi dengan Air Traffic Control (ATC).
Persoalan itu disampaikan oleh Managing Director Lion Air Group Putut Kuncoro. Di tahun 2017, Lion Air Group membutuhkan 300 pilot pemula baru yang dijaring dalam dua sesi seleksi. Pada Juni 2017 dari 150 pilot yang dibutuhkan, hanya 55 pilot yang lolos seleksi. Sementara pada Desember 2017 dari 300 pendaftar, hanya 2 pilot yang lolos.
“Selama ini yang banyak enggak lulus di TOEIC (Test of English for International Communication). Kita mensyaratkan 700, tapi ada yang mencoba sampai 7 kali tapi tetap enggak lulus,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
Melihat fakta di lapangan bahwa ab initio pilot kurang memiliki kompetensi yang diinginkan pihak maskapai, Kementerian Perhubungan mengaku sudah memanggil sekolah-sekolah pilot untuk sama-sama melakukan peningkatan terhadap silabus pengajaran.
Hal itu dilakukan guna mengikuti permintaan industri maskapai yang sudah menaikkan level penerimaan terhadap lulusan pilot baru. Setidaknya ada beberapa kompetensi yang harus ditingkatkan bagi setiap taruna.
Kompetensi tersebut antara lain general knowledge, aircraft, airlow, meterology, navigation, operation, dan aircraft performance. “Ini yang menjadi concern kami sehingga kami mengadakan semacam workshop dan upgrading course. Sehingga mereka mampu melewati fase itu,” kata Direktur Jenderal Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan, Agus Santoso, di acara wisuda ke-67 STPI, Sabtu (27/1).
Kapten pilot perempuan. (Foto: Wahyuni Sahara/kumparan)
Persoalan kualifikasi lulusan sekolah penerbangan menjadi salah satu poin yang dikritisi oleh pengamat penerbangan, Gerry Soejatman.
ADVERTISEMENT
Gerry menjelaskan bahwa selama 20 tahun terakhir belum ada peningkatan standar kompetensi yang dilakukan pemerintah terhadap sekolah-sekolah penerbangan. Hal itu juga membuat lulusan pilot saat ini tidak bisa mengikuti kebutuhan industri yang ada.
“Standar pendidikan, mutunya yang jaga siapa? Pemerintah. Student-nya yang ngecekin siapa? Pemerintah. Jadi kalau dibilang sekolah jelek, pemerintah ke mana aja sekarang?” kritik Gerry.
Di sisi lain, Gerry menuding pemerintah belum secara terbuka menjelaskan duduk permasalahan yang membuat banyak lulusan pilot menganggur. Ia beranggapan bahwa inspektor Kemenhub, selaku orang yang menguji kelaikan taruna untuk lulus atau tidak, kurang memiliki mutu yang baik.
“Apakah sekarang, masih sama, kita kekurangan (inspektor)? Atau kita kekurangan inspektor yang bermutu?” lanjutnya.
ADVERTISEMENT
Gerry berharap pemerintah mau mengakui secara jujur jika saat ini kekurangan inspektor yang berkualitas. Hal itu untuk meminimalisasi taruna yang lulus dengan kualitas yang kurang baik.
Jika memang benar saat ini pemerintah kurang memiliki inspektor berkualitas, Gerry yakin pihak sekolah dan maskapai akan turut membantu mencari jalan keluar untuk meningkatkan kualitas inspektor yang ada saat ini.
Baik membenahi kualitas sekolah penerbangan ataupun inspektor, harapannya sama: mencetak pilot yang bermutu.
------------------------
Jangan lewatkan isu mendalam lain dengan mengikuti topik Ekspose di kumparan.