Mencari Akal Menarik Pajak di Era Digital

8 Februari 2018 18:09 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Ada angka besar yang tak terungkap jumlahnya saat membicarakan potensi penjualan lewat media sosial di Indonesia. Layaknya gunung es, angka tersebut--meski diketahui keberadaannya--tak terukur pasti nilainya.
ADVERTISEMENT
Kevin Surya (23), pemuda asal Jakarta yang menggeluti usaha berjualan tas selempang kekinian, mencari banyak cara guna menjajakan barang dagangannya secara online. Mulai dari media sosial seperti Instagram hingga membuka lapak di marketplace.
Kevin pun sudah mengecap manisnya keuntungan dari hasil penjualan lewat lapak-lapak di media sosial dan marketplace. “Dari hasil jerih payah selama ini, jualan online udah bisa beli mobil dan jalan-jalan ke luar negeri,” kata Kevin ketika ditemui kumparan di Jakarta Barat, Kamis (1/2).
Maraknya jual beli online yang terus tumbuh dari tahun ke tahun membuat pemerintah mulai memikirkan skema tepat dalam menarik pajak dari para pengusaha di dalamnya. Apalagi aturan pajak yang ada terlampau usang dan tak memadai untuk mengatur pajak di era digital ini.
ADVERTISEMENT
Maka sejak 2017, pemerintah mulai menggodok aturan untuk menarik pajak para pengusaha yang melakukan transaksi jual beli secara online. Sayangnya, pembahasan aturan masih berkutat pada transaksi di marketplace.
Tanya pun menyeruak, lalu bagaimana dengan mereka yang berjualan melalui media sosial? Aturannya seperti apa?
Antara Marketplace dan Media Sosial
Sengkarut Pajak Transaksi e-Commerce (Foto: Lidwina Win Hadi/kumparan)
Di pengujung 2017, idEA selaku asosiasi yang menaungi sekitar 320 perusahaan e-commerce, diundang pemerintah untuk mulai membahas Rancangan Peraturan Menteri Keuangan terkait pajak transaksi elektronik (RPMK Pajak E-commerce).
Mereka adalah para pemilik aplikasi atau situs marketplace yang menjadi ruang baru bagi para penjual dan pembeli bertemu secara online. Marketplace memungkinkan proses promosi hingga jual beli terjadi di dalamnya. Contohnya Tokopedia, Bukalapak, Shopee, OLX, dan sebagainya.
ADVERTISEMENT
Pembahasan selanjutnya digelar di antara Dirjen Pajak, Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan, dan lembaga terkait lain. Hingga kini draf RPMK Pajak E-commerce itu belum rampung dan belum dipublikasikan, termasuk kepada idEA. Hanya, sejumlah bocoran rencana telah ramai diperbincangkan.
Pertama, kemungkinan pemerintah akan meminta bantuan para pengusaha marketplace untuk menghimpun pajak dari para merchant atau para penjual untuk kemudian disetorkan ke Dirjen Pajak.
Kedua, pajak yang ditarik berupa pajak penghasilan yang dikenakan sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 tentang Pajak Final UMKM. Hanya saja, kemungkinan ambang batas dan besarannya diturunkan dari satu persen ke 0,5 persen.
ADVERTISEMENT
Bocoran rencana tersebut membuat para perusahaan e-commerce yang tergabung dalam idEA terusik. Pasalnya, pembahasan RPMK terlalu terfokus pada pelaku usaha yang di marketplace. Pembahasan belum mencakup mereka yang berjualan di media sosial seperti Facebook atau Instagram.
Hal itu kemudian dipersoalkan. Menurut survei idEA pada April-Desember 2017 di 11 kota, jumlah pengusaha di media sosial melebihi mereka yang membuka lapak di marketplace.
Ilustrasi Media Sosial (Foto: Dok. Pixabay)
Pedagang yang membuka lapak khusus di Facebook mencapai 43 persen, yang hanya berjualan di Instagram 5 persen, dan yang memanfaatkan Facebook dan Instagram sekaligus 11 persen. Namun, hanya 16 persen saja dari para pedagang itu yang ikut membuka lapak di marketplace.
ADVERTISEMENT
Potensi besarnya transaksi melalui media sosial sulit terdata dan terlacak. Lain halnya dengan penjual di marketplace. “Transaksi di media sosial kan direct transaction, enggak ada tolak ukur. Kalau kita di marketplace datanya sekarang sudah di-capture,” kata Bima Laga, Kepala Divisi Pajak, Infrastruktur, dan Keamanan Siber idEA kepada kumparan di kantornya, Kelapa Gading, Jakarta, Senin (6/2).
Bukalapak, salah satu perusahaan e-commerce, merasa khawatir apabila PMK Pajak E-commerce hanya menyasar marketlplace tanpa membidik transaksi di media sosial.
“Ada kekhawatiran akan shifiting itu,” kata Senior Finance Manager Bukalapak, Afrizal, di kantor Bukalapak, Jakarta Selatan, Jumat (2/2).
Shifting yang dimaksud adalah larinya para penjual dari marketplace--karena dikenai pajak lebih dulu--ke media sosial saja.
ADVERTISEMENT
Namun, Rizal belum bisa memprediksi berapa banyak penjual yang kemudian akan beralih apabila PMK hanya fokus mengatur marketplace.
Yustinus Prastowo, Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), mengamini kemungkinan tersebut. “Karena di media sosial, platformnya berbeda dengan penyedia marketplace,” ujar Yustinus.
“Jadi pilihan ada pada para pelaku. Kalau mereka mau kucing-kucingan, kalau merasa dikejar-kejar lalu ingin menghindari pajak, ya silakan menggunakan media sosial. Tapi usaha mereka tidak akan pernah besar.”
Mencari Pajak dari Media Sosial
Belanja online biasa dilakukan generasi milenial. (Foto: Shutter Stock)
Belum diketahui dengan pasti nilai transaksi dan data penjualan yang menggunakan platform media sosial seperti Facebook dan Instagram. Hanya jumlah pengiklan yang datang dari pengusaha atau korporasi besar saja yang diketahui, yakni sebesar 3 juta pengiklan di Facebook dan 2 juta di Instagram.
ADVERTISEMENT
Tentu saja angka tersebut tak cukup mampu untuk mengukur berapa banyak penjual di media sosial sebenarnya. Apalagi besaran nilai transaksi yang terjadi per tahun.
Kesulitan pencatatan data transaksi di media sosial barangkali menjadi sebab di balik menguapnya rencana pengenaan pajak terhadap penjual di media sosial yang diwacanakan sejak 2016.
Tahun itu, selain menyasar para pedagang di media sosial, sempat diwacanakan pula pajak penghasilan terhadap para selebgram dan Youtuber.
Yustinus Prastowo (Foto: Dok. Ditjen Pajak)
Yustinus Prastowo memahami sulitnya pengenaan pajak bagi pemilik lapak di media sosial. Ia berpendapat, pemerintah perlu menerapkan sistem pajak berbeda antara penjual di media sosial dan marketplace.
“Karena yang medsos ini beda ekosistemnya,” kata Yustinus.
Tapi sebelumnya, pemerintah perlu mendata para penjual di media sosial. Baru setelah itu, sambung Yustinus, pajak dikenakan dengan mekanisme seperti diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
ADVERTISEMENT
Langkah selanjutnya, ujar Yustinus, pemerintah perlu memperkuat pengawasan terhadap para pengusaha di media sosial, lalu menindak para pedagang yang berusaha mengemplang pajak.
“Kalau tidak dilakukan (membayar pajak), harus ada law enforcement. Tugas Dirjen Pajak memastikan mereka juga (membayar). Selain difasilitasi, juga bisa diawasi.”
Hal serupa dikatakan peneliti Indef, Bhima Yudistira. Ia berpendapat, untuk bisa mencakup subjek pajak yang berada di media sosial, pemerintah harus menerapkan aturan secara bertahap.
“Untuk tahap awal, sebaiknya tujuan pemajakan e-commerce ini sekadar perluasan basis pajak, baik yang jualan di platform atau di luar platform. Dikasih jeda waktu misalnya satu tahun agar si pelapak membayar dan melaporkan pajaknya,” kata Bhima.
Hal tersebut diperlukan karena sebagian besar pelapak bahkan belum punya Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) untuk kelas UMKM. Setelah tahapan sosialisasi dan pendataan selesai, lanjut Bima, “Baru peningkatan kepatuhan pajak. Ada proses penyidikan dan pemanggilan bagi wajib pajak yang belum menyetor pajaknya.”
ADVERTISEMENT
“Jadi kesannya bukan tergesa-gesa untuk menambal penerimaan negara. Ini juga untuk memberikan rasa nyaman bagi pelaku e-commerce lokal.”
Itulah yang diinginkan oleh para pengusaha marketplace: penerapan regulasi e-commerce secara adil dan serentak.
Aturan Pajak E-commerce di Berbagai Negara (Foto: Chandra Dyah A./kumparan)
------------------------
Jangan lewatkan isu mendalam lain dengan mengikuti topik Ekspose di kumparan.