Mendag: Coca-Cola Tak Mungkin Pakai Gula Lokal yang Berwarna Cokelat

10 Januari 2019 15:27 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Gula putih kiloan (Foto: Helmi/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Gula putih kiloan (Foto: Helmi/kumparan)
ADVERTISEMENT
Menteri Perdagangan, Enggartiasto Lukita, menanggapi cuitan Ekonom Faisal Basri, yang mengkritik besarnya impor gula yang dilakukan pemerintah dalam dua tahun terakhir. Enggar pun buka suara dan menjelaskan ada dua kriteria dalam menetapkan impor gula. Pertama, kurangnya produksi gula dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dan industri. Sedangkan yang kedua, mengenai kualitas gula produksi dalam negeri.
ADVERTISEMENT
“Membaca twit dari orang ya? Jadi gini, saya sampaikan kita impor berdasarkan kebutuhan," ungkap Enggar saat menanggapi pertanyaan wartawan di Gedung Kementerian Perdagangan, Jalan Ridwan Rais, Jakarta Pusat, Kamis (10/1).
Lebih lanjut Enggartiasto menjelaskan, pihaknya juga akan melihat kualitas dari produksi gula lokal. Menurutnya, ada gula lokal yang tidak memenuhi standar industri. Hal ini bisa dilihat dari kadar ICUMSA gula lokal. ICUMSA adalah salah satu parameter kualitas dari gula ditinjau dari warna.
Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita. (Foto: Nugroho Sejati/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita. (Foto: Nugroho Sejati/kumparan)
“Coca-Cola tidak mungkin mau terima hasil gula yang diproduksi dalam negeri yang ICUMSAnya tinggi. ICUMSA gula di Indonesia tertinggi di dunia, yang warna cokelat itu. Dodol garut gampang bulukan kalau pakai yang itu kalau kata pabrik dodol Garut," tambahnya.
ADVERTISEMENT
Enggartiasto juga mengatakan kebutuhan industri juga mengalami tren kenaikan. Hal ini disebabkan semakin meningkatnya pertumbuhan kebutuhan gula industri seperti Mayora, Wings, dan Indofood, meningkat.
“Dia pakai gula apa? Kalau pakai gula domestik, pasti dia pakai, tapi persoalannya gula domestik tidak sesuai dengan kriteria industri itu sendiri," kata dia.
Menurut dia, kebutuhan industri 2,8 juta ton perkiraan 2019, sedangkan pada 2018 sebanyak 3,6 juta ton. Untuk produksi dalam dalam negeri 2,1 juta ton.
"Untuk konsumsi sedang dihitung karena kalau dalam neraca. Tapi proyeksi selalu lebih besar dari realisasi. Untuk pangan jangan pernah kita bertaruh," ujarnya.