Mengenal Konsesi Tanah, Tantangan Jokowi untuk Dikembalikan ke Negara

25 Februari 2019 17:49 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Presiden Jokowi saat menyampaikan pidato kebangsaan di SICC Sentul, Bogor, Minggu (24/2/2019). Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Presiden Jokowi saat menyampaikan pidato kebangsaan di SICC Sentul, Bogor, Minggu (24/2/2019). Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
ADVERTISEMENT
Calon Presiden nomor urut 01, Joko Widodo atau Jokowi, menantang para pemegang konsesi tanah untuk mengembalikannya pada negara. Tantangan Jokowi disampaikan di acara ‘Konvensi Rakyat' di Sentul International Convention Center (SICC), Kabupaten Bogor, Jawa Barat.
ADVERTISEMENT
"Nah, jika ada penerima konsesi besar yang mau mengembalikan ke negara... Saya ulang, saya ulang, jadi, kalau ada yang ingin mengembalikan konsesinya kepada negara..." ucap Jokowi, Minggu (24/2).
Sebelumnya, masalah pengelolaan tanah ini disinggung Jokowi dalam debat kedua Pilpres 2019 yang diikuti hanya oleh calon presiden, pada 17 Februari 2019.
"Kita tidak berikan (konsesi tanah) kepada yang gede-gede. Saya tahu Pak Prabowo memiliki lahan yang sangat luas di Kalimantan Timur sebesar 220.000 hektar juga di Aceh Tengah 120.000 hektar,” katanya di panggung debat.
Prabowo pun membenarkan pernyataan Jokowi, sambil menegaskan bahwa lahan tersebut milik negara dan siap mengembalikan jika negara membutuhkan.
"Setiap saat negara bisa ambil kembali. Kalau untuk negara, saya rela kembalikan itu semua," kata Prabowo.
ADVERTISEMENT
Ahli Hukum Agraria dari Universitas Padjadjaran Profesor Ida Nurlinda, menegaskan Prabowo sah-sah saja bila menguasai ratusan ribu hektare lahan berstatus HGU.
"Boleh, kalau merujuk ke peraturan," kata Ida kepada kumparan.
Warga DKI Jakarta menunjukkan sertifikat tanah yang telah diberikan oleh Kementerian ATR. Foto: Dok. Kementerian ATR
Terkait konsesi tanah yang jadi tantangan Presiden Joko Widodo untuk di kembalikan ke negara, diatur dalam banyak tata aturan perundang-undangan. Mulai dari undang-undang, hingga peraturan pemerintah, serta berbagai regulasi turunannya.
Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, pada pasal 1 poin 20 memberikan definisi tentang konsesi.
Konsesi diartikan sebagai keputusan pejabat pemerintahan yang berwenang sebagai wujud persetujuan dari kesepakatan badan dan/atau pejabat pemerintahan dengan selain badan dan/atau pejabat pemerintahan, dalam pengelolaan fasilitas umum dan/atau sumber daya alam dan pengelolaan lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
ADVERTISEMENT
UU Agraria Tak Mengenal Konsesi Tanah Terkait tanah, Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria, tak mengenal istilah konsesi. "Enggak ada istilah konsesi tanah di UUPA," kata Ida, Senin (25/12).
UU tersebut menganut prinsip bahwa pada tingkatan tertinggi, tanah dikuasai oleh negara (Pasal 2).
Meski demikian, UU itu juga memberi kewenangan pada negara, bahwa tanah dapat diberikan atau dipunyai oleh orang-orang ataupun badan hukum (Pasal 4). Atas dasar tersebut, pada pasal 16 ditetapkan hak-hak atas tanah.
Yaitu hak milik, hak guna usaha (HGU), hak guna bangunan (HGB), hak pakai (HP), hak sewa, hak membuka tanah, hak memungut hasil hutan, serta hak-hak lain yang tidak termasuk hak-hak tersebut di atas.
Ilustrasi hak pengelolaan tanah. Foto: kumparan
Khusus untuk pengelolaan tanah berupa hutan, diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 34 tahun 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan, dan Penggunaan Kawasan Hutan.
ADVERTISEMENT
Pada pasal 49 PP tersebut, diatur soal hapusnya izin. Yakni 1. Izin pemanfaatan hutan dapat menjadi hapus, apabila: a. jangka waktu izin telah berakhir; b. izin dicabut oleh pemberi izin sebagai sanksi yang dikenakan kepada pemegang izin; c. izin diserahkan kembali oleh pemegang izin dengan pernyataan tertulis kepada pemberi izin sebelum jangka waktu izin berakhir; atau d. target volume atau berat yang diizinkan dalam izin pemungutan hasil hutan telah terpenuhi.
2. Sebelum izin diterima kembali oleh pemberi izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c, terlebih dahulu diaudit secara komprehensif.
3. Berdasarkan hasil laporan audit sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), pemberi izin dapat menerima atau menerima dengan persyaratan atau menolak pengembalian izin tersebut.
ADVERTISEMENT
4. Hapusnya izin atas dasar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak membebaskan kewajiban pemegang izin untuk: a. Melunasi seluruh kewajiban finansial serta memenuhi kewajiban-kewajiban lain yang ditetapkan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah; b. Melaksanakan semua ketentuan-ketentuan yang ditetapkan berkaitan dengan berakhirnya izin sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
5. Pada saat hapusnya izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) barang tidak bergerak dan atau tanaman yang telah dibangun dan atau ditanam dalam areal kerja menjadi milik negara.
6. Dengan hapusnya izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Pemerintah dan atau Pemerintah Daerah tidak bertanggung jawab atas kewajiban pemegang izin terhadap pihak ketiga.
Penerimaan Negara
Presiden Jokowi kunjungi hutan pinus Mangunan, Bantul, Jumat (28/09/2018). Foto: Arfiansyah Panji/kumparan
Selama pemegang izin pemanfaatan hutan masih mengelolanya, negara juga menerima iuran pemanfaatan hutan, seperti diatur pada pasal 48 yakni: 1. Iuran Pemanfaatan Hutan merupakan penerimaan negara bukan pajak yang berasal dari sumber daya hutan, terdiri dari: a. Iuran Izin Usaha Pemanfaatan Hutan (IIUPH); b. Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH); dan c. Dana reboisasi (DR)
ADVERTISEMENT
Penjelasan soal iuran-iuran dan dana pungutan tersebut: 1. Iuran Izin Usaha Pemnafaatan Hutan (IIUPH) sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a, dikenakan kepada pemegang izin usaha pemanfaatan hutan berdasarkan pada luas hutan yang diberikan dalam izin.
2. Iuran Izin Usaha Pemanfaatan Hutan (IIUPH) sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a dipungut sekali pada saat izin usaha pemanfaatan hutan diberikan.
3. Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, dikenakan kepada pemegang izin pemanfaatan hutan.
4. Pemungutan PSDH atas hasil hutan kayu yang berasal dari hutan alam didasarkan pada: a. laporan hasil cruising pohon yang akan ditebang untuk kayu bulat sedang; b. laporan hasil produksi untuk kayu bulat; c. laporan sisa pembalakan; dan d. laporan hasil hutan lainnya.
ADVERTISEMENT
Terkait klausul tentang PSDH dan hasil hutan kayu, tercantum penjelasan: 1. Pemungutan PSDH atas hasil kayu yang berasal dari hutan tanaman didasarkan pada laporan hasil cruising (LHC) pohon yang akan ditebang.
2. Setiap hasil hutan kayu dan bukan kayu yang berasal dari izin penggunaan kawasan hutan atau kawasan hutan yang mengalami perubahan peruntukan menjadi bukan kawasan hutan dan dibebani alas titel/hak atas tanah dikenakan PSDH dan atau DR.
3. Ketentuan pengenaan, pemungutan, pembayaran, penyetoran, pengelolaan, pengawasan dan pengendalian IIUPH, PSDH dan DR sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.