Mengintip Rencana Transportasi Jabodetabek 2018-2024

22 Maret 2019 7:25 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Kereta MRT Jakarta. Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Kereta MRT Jakarta. Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
ADVERTISEMENT
Apa yang terbayang di benak Anda soal wajah transportasi Jakarta? Ratap bengis kemacetan, ragam moda yang masih semrawut dan berantakan, atau justru bagi Anda ia sarana yang kian sumringah atas modernitas dan kebaruan?
ADVERTISEMENT
Masing-masing orang boleh saja punya persepsi sendiri atas transportasi ibu kota. Entah sebal, kagum, atau malah benci sekaligus diam-diam merindukan.
Bagaimanapun itu, tahukah Anda bahwa Jakarta, lebih jauh lagi Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi) sebetulnya telah memiliki unit khusus yang bertugas mengembangkan, mengelola, dan meningkatkan pelayanan transportasi secara terintegrasi.
Ialah Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ). Pembentukan BPTJ merupakan tindak lanjut dari Peraturan Presiden Nomor 103 Tahun 2015 telah telah ditetapkan pada 18 September 2015.
Selanjutnya, barulah Perpres No 55 tahun 2018 tentang Rencana Induk Transportasi Jabodetabek (RITJ) tahun 2018-2029 terbentuk. Mengacu itulah, roadmap pengelolaan Jabodetabek sedang dan nantinya bakal berkiblat.
Kepala Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) Kementerian Perhubungan, Bambang Prihartono, mengatakan pelaksanaan RITJ Jabodetabek itu dijalankan oleh kementerian/lembaga dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya, yang memiliki tenggat waktu.
ADVERTISEMENT
"Jadi RITJ dari 2018 sampai 2029 itu 10 tahun. Oleh karena itu, apa yang dikerjakan ini sudah sesuai dengan rencana induk. Kalau sudah sesuai dengan rencana induk, tentu tidak ada tumpang tindih," katanya ketika ditemui di sela acara diskusi 'Membedah Peran Strategis BPTJ', di Jakarta, Kamis (21/3).
Dalam rentang waktu itu, indikator kinerja utama terkait keberhasilan RITJ ialah angkutan umum capai 60 persen, waktu perjalanan maksimal 1,5 jam, kecepatan rata-rata 30 km/jam, akses jalan kaki ke angkutan umum maksimal 500 meter, setiap daerah ada feeder, simpul mesti ada fasilitas pejalan kaki dan park and ride, serta perpindahan moda sekali jalan maksimal 3 kali.
Kereta MRT memasuki Stasiun Bundaran HI, Jakarta, Selasa (12/3). Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
Sementara itu, Bambang mengungkap pihaknya secara bertahap telah menyusun detail estimasi untuk pembiayaan RITJ. Yaitu yang diterapkan per-lima tahun ke depan terlebih dahulu.
ADVERTISEMENT
"Kami membuat untuk lima tahun ke depan, yaitu 2018-2024," ucap dia.
Berdasarkan data BPTJ, kebutuhan pembiayaan RITJ tahun 2018-2024 yaitu senilai total Rp 329.538.847. Sumber pendanaannya meliputi, APBD sejumlah Rp 54.053.300 (16,4 persen), APBN/PHLN (pinjaman dan/atau hibah luar negeri) Rp 27.923.300 (8,47 persen), swasta Rp 247.562.247 (75,13 persen).
Lantas, bagaimana pengaplikasiannya?
Nantinya, dana itu akan digunakan untuk penataan transportasi lintas moda yang akan diintegrasikan. Mulai dari moda transportasi utama seperti MRT, hingga feeder-feeder pendukung lainnya.
"Dalam menunjang MRT, ada 10 rute baru yang Trans Jakarta menyediakan 50 bus angkutan baru tambahan, untuk melayani sehingga ini akan jadi raw model kita, ini loh cara menangani transportasi," ujar dia.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, Ia menjanjikan bakal merapikan stasiun-stasiun di KCI, yaitu ada 17 stasiun di sepanjang jalur Jabodetabek.
Bambang juga menekankan, angkutan masal dipastikan tak bakal terabaikan pengaturannya agar teratur dan tak lagi tumpang tindih.
"Kenapa bisa tumpang tindih? Karena waktu pembangunannya beda-beda, dahulu hanya ada busway tetapi beda dengan kebutuhan busway sekarang," timpalnya.
Petugas mencoba kelayakan bus Pengangkutan Penumpang Djakarta (PPD) di Pool Ciputat, Tangerang Selatan. Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
Metromini Cs pun, kata dia, juga bakal dilibatkan dengan menjadi angkutan penumpang yang dioperasikan hingga perumahan masyarakat. Begitu pula untuk ojek online (ojol), tak diperkenankan di sekitar jalur utama MRT, namun bakal diberi tempat di feeder terkecil.
"Oleh karena itu, kita juga sudah minta pemerintah daerah seperti Bekasi dan Tangerang Selatan, sudah mulai memikirkan angkutan lanjutan. Misalnya di Tangsel ada rencana Trans Anggrek, kemudian di Tangerang ada Trans Tayu, di Bekasi ada Trans Patriot. Itu adalah transportasi-transportasi lanjutan sampai ke pemukiman," terangnya.
ADVERTISEMENT
Mengukuhkan Otoritas BPTJ
Rancangan memang sudah terpancang, namun Bambang menyebut dalam pelaksanaannya bukan lantas tanpa kendala. Saat ini, pihaknya mengaku BPTJ sebagai unit yang sejak awal pembentukannya 'dijanjikan' memiliki otoritas, malah seolah 'ompong' karena kurangnya power.
"Authority itu harus selevel dengan kementerian dan seperti menteri, kapolri. Supaya dia powerful dan harus. Kalau tidak, tidak bisa diimplementasikan RITJ (Rencana Induk Transportasi Jabodetabek) itu," tutur Bambang.
Pihaknya menyebut, BPTJ selama ini ada di bawah naungan Kemenhub dan memiliki keterbatasan ketika menjangkau Pemda. Padahal di sanalah, koordinasi menjadi kunci apalagi soal transportasi yang saling terkait antar daerah.
Di saat bersamaan itu, muncul pulalah wacana bakal ada sebuah otoritas baru, berbentuk suatu badan, yang saat ini sedang dikaji melalui komando dari Wakil Presiden Jusuf Kalla.
ADVERTISEMENT
Pengamat Kebijakan Publik Agus Pambagio menilai pembentukan badan baru itu tidak perlu. Sebaliknya, pemerintah mesti mempertimbangkan fungsi BPTJ sebagai otoritas yang memang sudah seharusnya punya wewenang, setara menteri yang berhubungan langsung dengan presiden, untuk secara total dan independen mengelola transportasi Jabodetabek.
"Pakai aja BPTJ ini otoritasnya dikembalikan pada ide dulu. Iya, harus tanggung jawabnya presiden, ide awalnya kan begitu," tegasnya.
Agus juga menekankan, posisi BPTJ di bawah Kemenhub menjadi hambatan gerak untuk mempertegas pengaturan dan penegakan RITJ. Termasuk ketika akan melakukan koordinasi dengan Pemda terkait transportasi lintas daerah utamanya.
"Kalau gitu, dinas perhubungan diganti saja, sehingga tidak ada dua matahari (Kemenhub dan Pemda), memudahkan BPTJ, BPTJ bertanggung jawab langsung kepada presiden, kan namanya otoritas, kayak Singapore Land Autority dia bertanggung jawab langsung pada Perdana Menteri. Yang ngontrol jadi BPTJ, Pemda jadi tidak ada lagi dinas, kalau masih ada dinas, nanti kacau, itu saran saya," paparnya.
ADVERTISEMENT
Agus bilang, untuk bisa memperkuat posisi BPTJ sebagai satu-satunya yang bertanggung jawab penuh terhadap peta jalan transportasi Jabodetabek tidaklah begitu rumit.
"Tinggal mengubah perpresnya aja," pungkasnya.