Menguji Pernyataan Prabowo soal Krisis 1998 dan Anggaran Bocor

5 Maret 2019 10:13 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Capres nomor urut 02 Prabowo Subianto menyampaikan pendapatnya saat debat capres 2019 putaran kedua di Hotel Sultan, Jakarta, Minggu (17/2/2019). Foto: ANTARA FOTO/AKBAR NUGROHO GUMAY
zoom-in-whitePerbesar
Capres nomor urut 02 Prabowo Subianto menyampaikan pendapatnya saat debat capres 2019 putaran kedua di Hotel Sultan, Jakarta, Minggu (17/2/2019). Foto: ANTARA FOTO/AKBAR NUGROHO GUMAY
ADVERTISEMENT
Capres nomor urut 02 Prabowo Subianto kembali membeberkan temuannya soal kondisi ekonomi Indonesia pada 1997-1998. Menurut dia, pada periode tersebut ekonomi Indonesia sebenarnya tidak krisis.
ADVERTISEMENT
Prabowo menjelaskan, beberapa indikator ekonomi Indonesia saat itu justru menunjukkan kondisi sehat. Kondisi di 1998 tersebut menurut Prabowo disebabkan kekayaan Indonesia yang terus mengalir ke luar negeri.
"Itu yang saya lihat, makanya tahun 98 temukan fenomena ini. Ternyata kekayaan kita terus mengalir ke luar. 1998-1999 saya dapat pencerahan, dibilang ada krisis ekonomi, tapi saya lihat angka-angka tidak ada krisis. Bisa dilihat di paradok Indonesia," kata Prabowo saat berpidato di acara Aliansi Pencerah Indonesia (API) yang merupakan eksponen Muhammadiyah di Hotel Sahid, Jakarta Pusat, Minggu (3/3).
Ada dua indikator yang dilihat oleh Prabowo. Pertama soal neraca perdagangan. Menurut Prabowo, jika dilihat neraca perdagangan Indonesia sejak periode 1997, terus terjadi surplus. Pada 1997 perdagangan surplus USD 12 miliar, kemudian pada 1998 surplus USD 21 miliar, 1997 senilai USD 24 miliar.
ADVERTISEMENT
"Tapi kenapa disebut ada krisis ekonomi? Kenapa rupiah hancur? Kenapa minyak goreng enggak ada? Kenapa? Dan saudara, ekonomi kita sehat. Ini buktinya, ini namanya empiris, kalau nanti ada diminta mana buktinya, nanti undang Prabowo ceramah. Ini saya pertanggungjawabkan," katanya.
Indikator kedua yaitu cadangan devisa. Jika dilihat, menurutnya seharusnya cadangan devisa Indonesia berada USD 350 miliar. Namun kenyataannya saat ini cadangan devisa berada di USD 100 miliar. Adapun berdasarkan data Bank Indonesia, hingga Januari 2019 cadangan devisa mencapai USD 120 miliar.
“Tetapi kenyataannya hanya ada USD 100 miliar, Jadi USD 200 miliar kekayaan kita kemana? Inilah yang akhirnya, tokoh pemerintah sekarang mengatakan kekekayaan kita berada di luar negeri, sekian belas ribu triliun. Saya sudah hitung dengan cara lain, kebocoran kita ada Rp 1.000 triliun tiap tahun. Ini pasti heboh lagi besok," ujarnya.
ADVERTISEMENT
Prabowo berjanji jika dia terpilih akan membuktikan soal kebocoran tersebut. Sekarang, kata dia, merupakan tugas dari eksekutif untuk menghentikan kebocoran anggaran tersebut.
Lantas, apakah tudingan Prabowo soal kebocoran anggaran dan tak ada krisis ekonomi 1998 tersebut benar?
Wakil Direktur Indef, Eko Listiyanto Foto: Nesia Qurrota A'yuni/kumparan
Ekonom INDEF Eko Listiyanto menjelaskan bahwa sejatinya ‘krisis ekonomi’ adalah sebuah diksi. Secara umum, kondisi 1998 memang dikatakan krisis ekonomi. Sebagian orang yang mensimplifikasi menyebutnya dengan diksi ‘krisis moneter’, karena anjloknya nilai tukar rupiah. Sementara sebagian orang yang menggeneralisasi memilih diksi ‘krisis multidimensi’.
Sedangkan akar penyebab dari kondisi krisis tersebut salah satunya berasal dari kebocoran anggaran, seperti yang diungkapkan Prabowo.
“Kebocoran anggaran dan larinya modal keluar RI memang menjadi sumber utama krisis dari sisi ekonomi. Tapi tidak hanya semata-mata karena kebocoran anggaran,” ungkap Eko kepada kumparan, Selasa (5/3).
ADVERTISEMENT
Salah satu indikatornya adalah adanya perubahan sistem anggaran dari anggaran berimbang dinamis, di mana penerimaan akan selalu sama dengan pengeluaran, menjadi sistem anggaran surplus atau defisit.
Meski demikian Eko mengamini bahwa angka riil kebocoran menjadi hal yang abu-abu alias tidak terungkap waktu itu. Menurut Eko yang terjadi saat itu adalah adanya pelarian modal ke luar negeri yang tentunya dalam mata uang asing alias dolar. Kondisi ini membuat nilai tukar rupiah merosot tajam. Kondisi inilah yang dijuluki sebagai krisis moneter.
Akibatnya, perbankan goyah karena ada 16 bank kecil ditutup. Hal tersebut memicu rush dan penarikan dana besar-besaran dari bank. Bank-bank kecil tersebut banyak berutang dalam dolar sehingga saat rupiah jeblok mereka susah mengembalikan utang dalam dolar jatuh tempo. Ujung-ujungnya dilikuidasi.
ADVERTISEMENT
Di saat yang sama APBN di rezim Orba tidak transparan. Utang pemerintah dalam dolar meningkat tajam karena kurs jeblok. Menurut Eko, data utang pemerintah saat itu sudah ada, sehingga bisa terukur dampak krisisnya.
“Masalahnya, utang swasta jatuh tempo yang sebagian besar dalam dolar belum tercatat waktu itu. Sehingga timbul spekulasi atau perburuan dolar yang semakin menjatuhkan kurs rupiah,” ujarnya.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira Adhinegara punya pandangan berbeda. Menurutnya diksi yang tepat untuk menggambarkan situasi 1998 adalah krisis perbankan. Menurutnya krisis di 1998 lebih berkaitan dengan utang luar negeri dan liberalisasi perbankan. Paska aturan Pakto 88 dirilis oleh Soeharto, banyak bank-bank baru bermunculan sedangkan pengawasan lemah. Bhima tak setuju dengan pernyataan Prabowo.
ADVERTISEMENT
“Jadi bukan karena anggaran bocor tapi lebih tepat krisis perbankan,” tegasnya.
Menurutnya kala itu adanya penarikan dana besar-besaran membuat kondisi perbankan jadi kacau. Bhima menilai ada ketidakpercayaan di mata nasabah soal sistem perbankan. Sedangkan menurut Bhima, kebocoran anggaran yang diteriakkan Prabowo adalah konsep yang diwariskan dari sang ayah, Sumitro Djojohadikusumo. Sayangnya konsep tersebut tak dilengkapi data yang pasti, pun sulit ditelusuri hingga saat ini.
“Dulu di era Soeharto salah satu menteri yang merupakan bapaknya Prabowo yaitu Sumitro Djojohadikusumo menyebut angka 30 persen anggaran yang bocor. Tapi belum ada angka yang jelas dari mana kebocoran itu,” ujarnya.
Selain itu adanya kepanikan di bursa saham juga membuat rupiah merosot.
“Saat krisis moneter 20 tahun lalu rupiah melemah signifikan dari 2.800 ke 16.000. Di 1998 rating utang Fitch anjlok hingga B- dengan outlook negatif. Kinerja pertumbuhan ekonomi merosot ke minus 13,6 persen. Sedangkan cadangan devisa tahun 1996 sebelum krisis berada di angka USD 18,3 miliar,” tandasnya.
ADVERTISEMENT