Menguji Tuduhan Tim Prabowo soal Anggaran Negara Bocor Rp 500 Triliun

13 Februari 2019 21:04 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Prabowo Subianto Foto: AFP PHOTO / Adek Berry
zoom-in-whitePerbesar
Prabowo Subianto Foto: AFP PHOTO / Adek Berry
ADVERTISEMENT
Calon presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto menyebut anggaran negara bocor 25 persen atau sekitar Rp 500 triliun dari belanja negara dalam APBN 2018. Kebocoran tersebut dikatakan karena penggelembungan dana (markup) di sejumlah proyek.
ADVERTISEMENT
Hingga saat ini, Prabowo maupun tim Badan Pemenangan Nasional (BPN) belum menjelaskan secara rinci dari mana angka Rp 500 triliun tersebut.
Pengamat Fiskal Yustinus Prastowo mempertanyakan kenapa Prabowo dan timnya tak segera melaporkan ke KPK jika mengetahui ada kebocoran APBN hingga Rp 500 triliun.
"Kenapa selama ini tak dilaporkan ke KPK?" kata Yustinus dalam keterangannya, Rabu (13/2).
Yustinus Prastowo Foto: Dok. Ditjen Pajak
Mengacu pada Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, definisi yang baku ketika menyebut anggaran adalah Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), yaitu rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat.
Sementara Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan daerah yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
ADVERTISEMENT
Menurut Yustinus, ketika menyebutkan anggaran harus jelas yang dimaksud, apakah APBN atau APBD, karena keduanya adalah dua hal yang berbeda, baik penyusun maupun penanggungjawaban.
"Merancukan keduanya berarti tidak memahami konsep desentralisasi fiskal sebagai konsekuensi otonomi daerah. Dengan kata lain, tuduhan menjadi politis bukan lagi kritik yang faktual-empiris," katanya.
Untuk itu, Yustinus pun mengecek sejumlah hal terkait kebocoran anggaran.
Ilustrasi menghitung mata uang Rupiah. Foto: AFP/Bay Ismoyo
Ujian pertama, yakni uji logika komposisi dan alokasi belanja.
Menurut dia, Prabowo tak pernah menjelaskan markup atas apa. Sebab markup umumnya terjadi pada pengadaan barang/jasa. Hal ini kemudian dicoba untuk ditekan dengan pengadaan barang/jasa secara elektronik agar proses tender lebih transparan dan akuntabel.
Dia pun mengambil contoh APBN 2018 dengan belanja Rp 2.200 triliun. Komposisi APBN 2018 adalah transfer ke daerah 31 persen (Rp 697 triliun), Belanja Pegawai 16 persen (Rp 346 triliun), Belanja Barang 15 persen (Rp 337 triliun), pembayaran bunga utang 12 persen (Rp 258 triliun), Subsidi 10 persen (Rp 216 triliun), belanja modal 8 persen (Rp 185 triliun), bantuan sosial 4 persen (Rp 84 triliun), bantuan lain-lain 1 persen (Rp 15,6 triliun).
ADVERTISEMENT
Bocor Rp 500 triliun berarti 22,7 persen dari total belanja. Jika dikurangi dengan transfer ke daerah, maka porsi kebocoran adalah 33 persen dari belanja pusat.
"Angka ini fantastik! Mustahil tidak terdeteksi BPK saat melakukan audit, dan KPK yang melakukan supervisi. Anehnya, jika klaim ini benar kenapa LKPP (Laporan Keuangan Pemerintah Pusat) Tahun 2016 dan 2017 diaudit BPK dengan opini Wajar Tanpa Pengecualian?" katanya.
Selain mendelegitimasi BPK dan KPK, kebocoran negara yang disebutkan Prabowo dikatakan Yustinus juga merendahkan governance dan integritas yang sudah dibangun para birokrat dan teknokrat di seluruh Kementerian/Lembaga, dan juga Pemda.
Yustinus Prastowo, Direktur CITA Foto: Nugroho Sejati/kumparan
Ujian kedua adalah jumlah kasus tipikor dan nilai kerugian negaranya.
Pernyataan Anggota BPN Dradjad Wibowo yang mengacu pada pernyataan Komisioner KPK dan Ketua Wantimpres ini menunjuk korupsi anggaran di Daerah. Jadi cukup jelas ini bukan persoalan anggaran di Pusat yang melalui UU No. 17/2003 dibedakan dengan tegas.
ADVERTISEMENT
Pernyataan Ketua Wantimpres dan Komisioner KPK juga eksplisit menyebutkan korupsi di Daerah dan lebih terkait markup proyek di Daerah. Jadi persentase 20-40 persen itu indikatif berdasarkan kasus korupsi yang ditangani KPK, di mana mayoritas terkait pengadaan barang/jasa. Pernyataan atas kasus-kasus lama, sebelum 2017 dan kasusnya sudah inkracht.
Untuk contoh korupsi di Pusat, Komisioner KPK Alex Marwata eksplisit memberikan contoh korupsi e-KTP yang di-markup 50 persen. Korupsi ini terjadi tahun 2011-2012 dan bukan di pemerintahan Jokowi.
"Jika menggunakan logika kebocoran anggaran sebagai markup proyek, maka korupsi e-KTP dan korupsi Hambalang sebagai yang terbesar, justru terjadi di era pemerintahan SBY (sebelum Jokowi)," tutur dia.
Petugas Bank menyiapkan uang kertas rupiah untuk ATM dan kantor cabang di Jakarta. Foto: AFP PHOTO / Bay Ismoyo
Selanjutnya, Yustinus memeriksa data korupsi. Menurut Catatan ICW, kurun 2010-2018 jumlah kerugian negara karena tindak pidana korupsi adalah Rp 45 triliun. Catatan Kejaksaan Agung, periode 2009-2014 penyelamatan kerugian negara mencapai Rp 6,6 triliun, dan periode 2009-2014 KPK menyelamatkan sekitar Rp 1,4 triliun.
ADVERTISEMENT
Pada 2017, terdapat 576 kasus korupsi, melibatkan 1.298 tersangka, dengan nilai kerugian negara Rp 6,5 triliun dan suap Rp 211 miliar.
Adapun lima besar kasus korupsi tahun 2017: anggaran desa (98 kasus dengan kerugian negara Rp 39,3 miliar), pemerintahan (55 kasus, nilai Rp 255 miliar), pendidikan (53 kasus, senilai Rp 81,8 miliar), transportasi (52 kasus, Rp 985 miliar), dan sosial kemasyarakatan (40 kasus, Rp 41 miliar).
Sementara lima lembaga terbanyak yang melakukan korupsi: Pemkab (222 kasus, Rp 1,17 triliun, 326 tersangka), Desa (106 kasus, Rp 33,6 miliar, 154 tersangka), Pemkot (45 kasus, Rp 352 miliar, 52 tersangka), BUMN (23 kasus, Rp 2,8 triliun, 51 tersangka), dan Kementerian (19 kasus, Rp 710 miliar, 19 tersangka).
ADVERTISEMENT
"Berdasarkan data di atas, jelas Dradjad Wibowo sedang melakukan manipulasi data dan disinformasi hanya demi membenarkan ucapan Prabowo yang memang tak punya dasar yang kuat. Dradjad tidak memahami UU No. 17/2003 yang membedakan APBN dan APBD, termasuk siapa penyusun dan penanggungjawabnya, dan secara pilih-pilih mengambil contoh pernyataan Ketua Wantimpres dan Komisioner KPK, hanya untuk membenarkan pernyataan Prabowo," jelas Yustinus.
Ilustrasi Korupsi Foto: Thinkstock
Fakta lain justru kontradiktif dengan klaim Prabowo tersebut. Sejak 2014-2018, peringkat Ease of Doing Business (EoDB) membaik dari 118 menjadi 73, Logistic Performance Index (LPI) dari 78 menjadi 46, Corruption Perception Index (CPI) dari skor 34 (peringkat 109) menjadi skor 38 (peringkat 89).
"Ketika diuji dengan pendekatan komposisi dan alokasi belanja, tuduhan itu lemah. Dan saat diuji dengan kasus korupsi yang ditangani instansi penegak hukum, angka yang dituduhkan itu pun jauh dari kenyataan. Tuduhan pilih-pilih (eklektik), uthak athik gathuk. Celakanya, Dradjad justru menuding rezim sebelum Jokowi sebagai pelaku utamanya," tambahnya.
ADVERTISEMENT
Anggota Dewan Pakar Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi Dradjad Wibowo sebelumnya menuturkan, angka tersebut berdasarkan taksiran perhitungan mantan Danjen Kopassus tersebut. Namun menurutnya, kebocoran tersebut dapat terlihat dari sisi banyaknya kasus korupsi yang terkait penggelebungan dana (markup).
Prabowo Subianto. Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
"Kebocoran keuangan negara itu sudah menjadi rahasia umum. Bocor di sini bisa dari sisi belanja, penerimaan atau pembiayaan. Bisa dalam APBN atau APBD.
Indikasi kebocoran itu antara lain terlihat dari banyaknya kasus korupsi yang ditangani KPK, jumlah kepala daerah yang ditangkap KPK saja sudah 100 lebih," kata Drajad.
Menurutnya, jika beberapa pihak meminta data dan perhitungan kebocoroan 25 persen, justru dianggap pemaksaan.
"Jadi kalau mas Prabowo membuat taksiran 25 persen, saya rasa wajar-wajar saja. Kalau masih ada yang ngotot minta data, itu asal ngotot namanya. Wong taksiran terhadap dunia hitam koq diminta data," katanya.
ADVERTISEMENT