Mengurai Izin Tambang Batu Bara yang Dipersoalkan KPK dan Menteri Rini

24 Juni 2019 19:26 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi tambang batu bara. Foto: Michael Agustinus/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi tambang batu bara. Foto: Michael Agustinus/kumparan
ADVERTISEMENT
Surat dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk Presiden Joko Widodo (Jokowi) membuat Menteri ESDM Ignasius Jonan mau tak mau membatalkan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) untuk PT Tanito Harum. Sebelumnya, pada Januari lalu Tanito Harum telah memperoleh perpanjangan IUPK selama 20 tahun yang berlaku hingga 2039.
ADVERTISEMENT
Tanito Harum adalah salah satu pemegang Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) Generasi I. PKP2B Tanito Harum telah habis masa berlakunya pada 14 Januari 2019.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2010 Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara (PP No. 23/2010), perpanjangan untuk pemegang PKP2B akan diberikan dalam bentuk IUPK.
Namun, KPK menyebutkan bahwa revisi PP No. 23/2010 wajib mengacu pada Undang Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara (UU Minerba). Revisi PP No. 23/2010 sendiri belum diteken Jokowi karena masih ada perbedaan pendapat antara Jonan dengan Menteri BUMN Rini Soemarno. Sama dengan KPK, Rini menilai revisi PP tersebut tak sejalan dengan UU Minerba.
ADVERTISEMENT
KPK dan Rini ingin wilayah eks PKP2B dikembalikan dulu kepada negara, kemudian diprioritaskan untuk diberikan kepada BUMN. Hal ini mengacu pada Pasal 75 ayat 3 dalam UU Minerba. Kemudian di Pasal 75 ayat 4 diatur bahwa badan usaha swasta hanya dapat memperoleh IUPK melalui lelang.
Selain itu, dalam Pasal 83 huruf b UU Minerba disebutkan bahwa luas Wilayah IUPK (WIUPK) Operasi Produksi maksimal 25 ribu hektare (ha). Saat ini para pemegang PKP2B mengelola wilayah dengan luas di atas 25 ribu ha.
Sementara dalam draft revisi keenam atas PP No. 23/2010 yang diajukan Jonan ke Sekretariat Negara (Setneg), pemegang PKP2B bisa memperoleh perpanjangan 20 tahun dalam bentuk IUPK tanpa melalui lelang. Luas wilayah pertambangan pun tak dikurangi.
ADVERTISEMENT
Terkait hal ini, Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) punya pandangan berbeda dengan Rini dan KPK. Menurut APBI, perpanjangan untuk Tanito Harum maupun pemegang PKP2B Generasi I lainnya tak bertentangan dengan UU Minerba.
"Harusnya tidak bertentangan dengan UU Minerba. Tapi pada dasarnya kita kontraktor pemerintah, kita tidak bisa memaksa pemerintah (untuk memberikan perpanjangan). Tapi diharapkan pemerintah bisa mempertimbangkan," kata Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI), Hendra Sinadia, kepada kumparan, Jumat (21/6).
Sebab, Pasal 169 di UU Minerba telah menjamin bahwa PKP2B yang telah ada sebelum diberlakukannya UU Minerba, tetap diberlakukan sampai jangka waktu berakhirnya kontrak, termasuk perpanjangannya. Dalam PKP2B Pasal 30, para pemegang PKP2B memiliki hak untuk memperoleh perpanjangan 20 tahun tanpa melalui lelang.
ADVERTISEMENT
"Perjanjian dan kelanjutan operasi pertambangan dapat diperpanjang oleh Menteri dalam bentuk IUPK OP perpanjangan, paling banyak 2 kali secara bertahap dengan jangka waktu masing-masing 10 tahun," demikian bunyi Amandemen PKP2B Pasal 30 seperti dikutip kumparan, Senin (24/6).
Begitu juga soal luas wilayah pertambangan, APBI berpendapat bahwa seharusnya tidak ada pengurangan luas wilayah. Pasal 171 UU Minerba telah menjamin bahwa pemegang PKP2B dapat memiliki wilayah sesuai dengan luas Rencana Kegiatan pada Seluruh Wilayah (RKSW) yang disetujui oleh pemerintah.
Sebuah ekskavator sedang beroperasi di area tambang batu bara. Foto: Michael Agustinus/kumparan
Sejalan dengan Pasal 171 UU Minerba itu, pemerintah juga sudah menerbitkan PP Nomor 77 Tahun 2014, Pasal 112 angka 1a memperkuat hak pemegang PKP2B untuk memiliki luas wilayah perjanjian sesuai dengan RKSW.
Selain menimbulkan ketidakpastian, pengabaian terhadap hak yang diatur dalam peraturan perundang-undangan dan PKP2B dapat menimbulkan risiko gugatan hukum ke arbitrase internasional.
ADVERTISEMENT
Sekitar separuh dari produksi batu bara nasional berasal dari perusahaan pemegang PKP2B Generasi I. Sebagai gambaran, menurut data Kementerian ESDM, Kaltim Prima Coal memproduksi 60 juta ton batu bara pada 2017, Adaro 50 juta ton, Berau Coal 33 juta ton, Kideco Jaya Agung 32 juta ton, Arutmin 28,8 juta ton. Pada 2017, total produksi nasional sebesar 461 juta ton. Kelima perusahaan itu masuk dalam daftar 10 besar produsen batu bara terbesar di Indonesia.
Ketidakpastian ini membuat perusahaan-perusahaan tersebut bakal menahan investasinya. Dampaknya, produksi batu bara nasional bisa terganggu. Sementara batu bara adalah komoditas ekspor terbesar Indonesia saat ini. Imbasnya masih banyak lagi, mulai dari ke penerimaan negara, pasokan bahan bakar untuk PLN, tenaga kerja di sektor pertambangan, dan sebagainya.
ADVERTISEMENT
Karena itu, Pengamat Energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Fahmy Radhi, berharap agar pemerintah bisa segera menemukan formula kebijakan baru yang memberi kepastian bagi para pemegang PKP2B Generasi I.
"Semangatnya harus untuk kepentingan negara yang lebih besar, harus segera diatur kembali agar ada dasar hukum dan kepastian untuk investor, harus dicari jalan tengah," tegasnya.