Menimbang Dampak Perang Dagang AS-China ke Industri Sawit Indonesia

3 November 2018 18:34 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pekerja memuat kelapa sawit (Foto: AFP PHOTO / MOHD RASFAN)
zoom-in-whitePerbesar
Pekerja memuat kelapa sawit (Foto: AFP PHOTO / MOHD RASFAN)
ADVERTISEMENT
Perang dagang Amerika Serikat (AS) dengan China tidak dipungkiri membawa banyak pengaruh bahkan hingga ke perdagangan negara berkembang. Ada yang berpendapat, ketegangan perang dagang AS-China sejatinya bisa dimanfaatkan bagi negara lain untuk mencari celah potensi.
ADVERTISEMENT
Termasuk, bagi industri kelapa sawit Indonesia. Beberapa pihak mengatakan kondisi ini bisa dimanfaatkan Indonesia untuk mendongkrak ekspor produk sawit ke China. Benarkah demikian?
Foreign Agricultural Services USDA, Chris Rittgers, mengungkapkan perang dagang AS-China ini berdampak pada penurunan aktivitas ekspor-impor kacang kedelai. Sejak perang dagang dimulai, China memboikot impor kacang kedelai dari AS lalu mengalihkan aktivitas impor mereka ke Brasil. Pemerintahan China memprediksi akan terjadi pengurangan impor kacang kedelai dari AS di tahun 2018-2019 dari 93,9 juta ke 83,7 juta ton.
“Kebijakan pengurangan impor kedelai tersebut mendorong pemerintah China untuk mencari alternatif minyak nabati lain. Dan sudah tentu, pilihannya jatuh kepada sawit di Indonesia,” ungkap Chris saat 14th Indonesian Palm Oil Conference (IPOC) 2018 di Bali International Convention Center, Sabtu (3/11).
Pekerja membawa kelapa sawit (Foto: AFP PHOTO / Adek Berry)
zoom-in-whitePerbesar
Pekerja membawa kelapa sawit (Foto: AFP PHOTO / Adek Berry)
Senada, Dr. James Fry, Chairman LMC International, Oxford, menilai kebijakan Presiden AS Donald Trump memang sedikit mempengaruhi harga minyak kedelai. Namun di sisi lain harga CPO juga tertekan karena harga minyak bumi (Brent) saat ini tengah terkoreksi.
ADVERTISEMENT
Menurut Fry, patokan utama harga CPO adalah Brent. Fry menjelaskan sejak 2007, harga minyak bumi turut memengaruhi harga dasar minyak nabati di Uni Eropa. Namun semenjak 2012, harga dasar CPO di Uni Eropa setara dengan harga Brent. Artinya, perang dagang tidak bisa dijadikan patokan untuk harga CPO, sebab harga bBrent tetap masih menjadi patokan.
Meski demikian, pendapat lain dikemukan oleh pelaku industri dari India, Dorab E Mistry, dari Godrej International Limited. Menurutnya, pelaku industri sawit Indonesia tidak boleh terlalu berharap pada potensi dampak perang dagang AS-China. Sebab, perang dagang tersebut bisa berakhir sewaktu-waktu.
“Bahkan dalam semalam, perang dagang bisa usai. Kedua pemimpin akan bertemu bulan ini. Jadi perang dagang bukan teman sawit,” tandasnya.
ADVERTISEMENT