Menjawab Pernyataan Sudirman Said Soal Kendali Atas Freeport

21 Februari 2019 13:16 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Sudirman Said. Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Sudirman Said. Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
ADVERTISEMENT
Dalam Diskusi Publik dan Bedah Buku berjudul Mengelola Sumber Daya Alam, Menjaga Harkat Negeri yang berlangsung Rabu (20/2) kemarin, mantan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said menyatakan bahwa kendali atas PT Freeport Indonesia (PTFI) masih berada di tangan Freeport McMoRan Inc (FCX) meski 51 persen saham PTFI telah dimiliki pihak Indonesia melalui PT Inalum (Persero).
ADVERTISEMENT
Pendapat Sudirman langsung dibantah oleh Inalum. Head of Corporate Communications and Government Relations Inalum, Rendi Witular, menyatakan bahwa pembagian dividen hingga susunan direksi dan komisaris ditentukan oleh suara Inalum.
"Justru sekarang pihak Indonesia memiliki pengaruh yang signifikan dalam penentuan dividen, anggaran, direksi, komisaris. Justru sekarang kontrol manajemen dilakukan bersama pihak Indonesia," tegas Rendi kepada kumparan, Kamis (21/2).
Beberapa bulan sebelum Sudirman melontarkan kritik, Direktur Utama Inalum Budi Gunadi Sadikin dalam wawancara khusus dengan kumparan pada 27 September 2018 lalu sudah pernah menjelaskan perihal masalah ini.
Mengenai kendali manajemen, meski menjadi pemilik saham mayoritas, Inalum tak mau sewenang-wenang dalam pengambilan keputusan. Semuanya akan dibicarakan terlebih dahulu dengan FCX karena hubungan baik antar-pemegang saham harus dijaga demi kelangsungan perusahaan.
ADVERTISEMENT
"Suara kan jelas kita 51 persen. Cuma kita setuju untuk membangun prinsip dengan Freeport, kita enggak mau jago-jagoan, atau mau bikin perusahaan yang menguntungkan kita ke depan. Saya kan bankir, saya sudah sering lihat mana perusahaan yang berhasil dan mana yang enggak. Kalau yang berhasil itu yang shareholder-nya kompak, yang enggak berhasil itu kalau pemegang sahamnya berantem," kata Budi.
Budi menambahkan, penunjukkan direksi juga akan dilakukan dengan musyawarah. Semua direksi yang memimpin PTFI harus berdasarkan kesepakatan Inalum dan FCX.
Inalum tak ingin berkonflik dengan FCX karena pengembangan tambang bawah tanah di Papua amat penting. Jangan sampai kegiatan pertambangan terganggu akibat konflik antar pemegang saham.
Soal kendali operasional, diakui Budi, saat ini Indonesia masih membutuhkan Freeport untuk mengelola tambang bawah tanah terbesar dunia di Papua. Lewat kerja sama dengan Freeport, diharapkan Indonesia suatu saat bisa mengelola sendiri tambang sesulit ini.
ADVERTISEMENT
"Tambang ini yang terkompleks dan terbesar di dunia. Begitu saya lihat, mungkin bisa kita kelola sendiri. Tapi kalau enggak ada ilmu, ini ngeri banget, gede banget. Panjang terowongan di bawah tanahnya sampai 1.000 kilometer (km). Tol saja dibangun berapa tahun sampai 1.000 km," ucapnya.
Sebagai pemilik baru PTFI, Inalum berjanji akan membawa lulusan-lulusan terbaik Indonesia di bidang pertambangan untuk mengelola tambang bawah tanah di Papua.
"Dari sisi pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, ini kesempatan terbaik kita. Orang Indonesia harus sebanyak mungkin masuk. Kami sebagai pemilik baru dan Freeport sudah setuju, kita mau bawa lulusan Indonesia yang terbaik ke sini untuk dapat teknologi, skill, dan knowledge-nya," kata Budi.
Dengan masuknya lulusan-lulusan terbaik dari berbagai perguruan tinggi yang ikut mengelola tambang bawah tanah, diharapkan Indonesia akan memiliki ahli-ahli pertambangan terbaik dunia.
ADVERTISEMENT
"Tambang ini penting karena ini akan jadi pusat pengetahuan dan teknologi tambang bawah tanah dunia. Ini adalah tambang bawah tanah dan paling kompleks di dunia. Kalau kita hanya menghitungnya secara ekonomis, itu salah. Dengan kita punya tambang bawah tanah ini, semua ahli-ahli pertambangan terbaik di dunia itu harusnya ada di Indonesia," paparnya.