Menjawab Tudingan Miring soal Pembelian Saham Freeport

26 Desember 2018 18:01 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Suasana penggalian di Freeport.
 (Foto:   Instagram @freeportindonesia)
zoom-in-whitePerbesar
Suasana penggalian di Freeport. (Foto: Instagram @freeportindonesia)
ADVERTISEMENT
Sejak 21 Desember 2018, PT Indonesia Asahan Aluminium (Persero) atau Inalum resmi menjadi pemilik 51 persen saham PT Freeport Indonesia (PTFI). Dana sebesar USD 3,85 miliar atau setara dengan Rp 55,8 triliun dibayarkan Inalum ke Freeport McMoRan Inc (FCX) dan Rio Tinto.
ADVERTISEMENT
PTFI yang masuk ke Indonesia sejak 1967 atau 51 tahun lalu sebagai perusahaan asing, kini dikuasai Indonesia.
Keputusan pemerintah membeli 51 persen saham PTFI ini mengundang respons positif maupun negatif. Tak semua pihak bertepuk tangan, ada juga yang melontarkan kritik maupun tudingan.
Ada pihak yang mempertanyakan mengapa pemerintah membeli saham PTFI yang kontraknya di Tambang Grasberg, Papua, habis pada 2021. Pihak-pihak tersebut berpendapat bahwa pemerintah bisa mengambil alih PTFI secara gratis pada 2021.
Pertanyaan lain, mengapa Inalum tetap menggandeng PTFI untuk mengelola tambang emas raksasa di Papua. Banyak yang menginginkan agar tambang emas terbesar dunia di Papua dikelola sendiri oleh bangsa Indonesia tanpa kehadiran asing.
Banyak juga yang belum memahami perbedaan antara Kontrak Karya (KK) PTFI yang sudah berlaku selama puluhan tahun, dengan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) yang diberikan pemerintah sebagai pengganti KK.
ADVERTISEMENT
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, Kepala Biro Hukum Kementerian ESDM Hufron Asrofi memberikan penjelasan pada Kamis (26/12). Berikut pernyataan lengkap Hufron kepada kumparan:
Mengapa pemerintah memutuskan untuk membeli 51 persen saham PT Freeport Indonesia dan tidak menunggu saja sampai Kontrak Karya habis pada 2021?
Dari segi hukum, kami berpegang kepada Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. UU Minerba tidak pernah mengamanatkan pengakhiran sepihak kontrak-kontrak (Kontrak Karya/KK) maupun perjanjian karya (Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara/PKP2B) yang telah ada sebelumnya, melainkan menghormati KK dan PKP2B sampai jangka waktunya berakhir. Di samping itu juga mengamanatkan adanya penyesuaian ketentuan-ketentuan dalam KK maupun PKP2B sesuai dengan semangat dalam UU No. 4/2009 beserta peraturan turunannya. Sebelumnya Pemerintah pernah berupaya untuk melakukan renegosiasi dalam rangka penyesuaian terhadap UU No. 4/2009 dan peningkatan penerimaan negara.
ADVERTISEMENT
Masih dari segi hukum, dalam ketentuan Pasal 31 Kontrak Karya (jangka waktu) telah ditentukan bahwa PT Freeport berhak mengajukan perpanjangan sebanyak 2 kali masing-masing selama 10 tahun setelah kontrak berakhir pada tahun 2021 dan Pemerintah tidak dapat menahan atau menunda persetujuan perpanjangan dengan tidak wajar.
Selanjutnya apabila KK ditunggu dan tetap berlaku sampai dengan tahun 2021, maka konsekuensinya berdasarkan PP No. 1/2017 PT Freeport Indonesia tidak dapat melakukan ekspor produk pengolahan hasil penambangan (konsentrat).
Akibat tidak adanya perubahan KK menjadi IUPK dan tidak diberikannya hak perpanjangan, maka terdapat potensi PT Freeport Indonesia melakukan gugatan sengketa arbitrase internasional. Apabila hal ini terjadi, maka yang dipertaruhkan adalah nasib ribuan tenaga kerja indonesia di PT Freeport Indonesia, di samping itu ada kemungkinan ketidakpastian penerimaan APBD bagi pemerintah Kabupaten Mimika dan Provinsi Papua.
ADVERTISEMENT
Terlepas dari soal menang atau kalah, penyelesaian melalui arbitrase menyebabkan ketidakpastian operasi yang membahayakan kelangsungan tambang, serta ongkos sosial ekonomi yang amat besar.
Di bawah rezim KK, menunggu sampai kontrak berakhir tahun 2021 dan tidak memperpanjangnya, selain lebih mahal juga menempatkan kedua pihak dalam situasi lose-lose solution dan memburamkan iklim investasi nasional.
Sehingga dari hal-hal tersebut di atas, dapat kami sampaikan bahwa pembelian mayoritas saham PT Freeport Indonesia melalui mekanisme divestasi adalah opsi terbaik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan saat ini, mengingat potensi cadangan yang berada pada tambang bawah tanah yang harus dikelola secara teknis secara profesional namun dalam penguasaan dan pengawasan penuh pemerintah melalui kepemilikan saham.
ADVERTISEMENT
Sehingga dapat disimpulkan bahwa memberikan perpanjangan dalam bentuk IUPK Operasi Produksi dan pembelian 51 persen saham PT Freeport Indonesia melalui mekanisme divestasi saham merupakan upaya yang paling ideal dari segi yuridis maupun dari segi ekonomis.
Apakah pemerintah bisa mengambil alih Tambang Grasberg di Papua secara gratis jika kontrak Freeport tak diperpanjang setelah 2021?
Tidak bisa gratis, karena harus membangun sarana dan prasana tambang dan membeli segala peralatan yang dibutuhkan dalam kegiatan operasi pertambangan.
Dalam rezim hukum pertambangan Kontrak Karya maupun IUP, status kepemilikan seluruh barang modal dan barang produksi dimiliki dan dibiayai sendiri oleh Badan Usaha dalam hal ini PT Freeport Indonesia (bukan Barang Milik Negara).
Sehingga apabila jalan yang ditempuh adalah mengakhiri Kontrak Karya dan mengambil risiko arbitrase, pemerintah juga tetap harus membeli sarana dan prasana tambang dan membeli segala peralatan dari PT Freeport Indonesia.
Presiden Jokowi umumkan Indonesia sah miliki 51 persen saham Freeport di Istana Merdeka, Jakarta. (Foto: Jihad Akbar/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Presiden Jokowi umumkan Indonesia sah miliki 51 persen saham Freeport di Istana Merdeka, Jakarta. (Foto: Jihad Akbar/kumparan)
Apakah uang yang dikeluarkan untuk membeli sarana prasarana tambang dan segala peralatan itu lebih mahal dibanding membeli 51 persen saham PTFI senilai USD 3,85 miliar?
ADVERTISEMENT
Apabila dilakukan pembelian, nilai transaksi pembelian tersebut kemungkinan akan lebih besar dari nilai transaksi divestasi pembelian 51 persen saham PT Freeport Indonesia.
Mengapa kehadiran Freeport masih dibutuhkan? Apakah BUMN kita tidak bisa mengelola sendiri Tambang Grasberg?
Misalkan dalam kasus PT Freeport ini Pasal 31 KK dikesampingkan dan pemerintah akan menunjuk BUMN, pada saat ini rasanya belum ada BUMN yang siap secara penuh untuk mengoperasikan tambang di wilayah tersebut.
Setelah 51 persen saham PT Freeport Indonesia dibeli Inalum, KK tidak berlaku lagi dan diganti dengan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Bisa dijelaskan bagaimana perbedaan KK dengan IUPK?
Perbedaan utama antara IUPK dan KK terdapat pada kedudukan masing-masing pihak. Pada IUPK, pemerintah bertindak sebagai pemberi izin sehingga memiliki kedudukan hukum yang lebih tinggi dari pihak yang mendapatkan izin. Berbeda dengan sistem Kontrak Karya dimana Kontraktor memiliki kedudukan yang setara dengan pemerintah.
ADVERTISEMENT
Pemerintah sebagai pembina dapat melakukan kontrol dan pengawasan teknis pertambangan hingga pemberian sanksi secara lebih efektif. Dalam pengambilan keputusan-keputusan strategis pemerintah tidak perlu menunggu/mendapatkan persetujuan dari kontraktor.
Bagi negara, apakah IUPK lebih menguntungkan dibanding KK? Apa saja kelebihan dan kekurangannya?
IUPK lebih menguntungkan bagi pemerintah, hal ini dapat dilihat dari beberapa hal. Dari segi yuridis dan sosiologis, skema seperti ini yang dikehendaki Pasal 33 UUD 1945 yang selanjutnya dijabarkan dalam UU 4/2009, dimana hak menguasai negara diimplementasikan dalam bentuk pemberian izin.
IUPK mencerminkan posisi pemerintah sebagai pembina kegiatan usaha pertambangan yang lebih tinggi posisi-nya dari penerima izin usaha pertambangan; IUPK merupakan salah satu bentuk perizinan yang dikenal dan diakui dalam hukum pertambangan di Indonesia setelah berakhirnya Kontrak Karya/PKP2B; IUPK mencerminkan peningkatan penerimaan negara yang meningkat secara agregat baik penerimaan Pemerintah Pusat misalnya peningkatan PNBP sesuai dengan tarif dalam PP juga untuk Pemerintah Daerah misalnya pada pajak air tanah.
ADVERTISEMENT
Sedangkan kekurangannya, dilihat dari kaca mata investor yang tunduk pada sistem hukum Common Law, investor merasa IUPK kurang memberikan kepastian investasi bagi badan usaha yang melakukan kegiatan usaha pertambangan, karena kedudukan Pemerintah yang lebih tinggi.