Merajut Mimpi, Industri TPT Juara di Kandang Sendiri

31 Juli 2019 16:28 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
com-Pekerja menjemur kain tenun di industri rumahan Desa Pacul, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, Senin (24/6/2019). Foto: Oky Lukmansyah/Antara Foto
zoom-in-whitePerbesar
com-Pekerja menjemur kain tenun di industri rumahan Desa Pacul, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, Senin (24/6/2019). Foto: Oky Lukmansyah/Antara Foto
ADVERTISEMENT
Kondisi industri tekstil dan produk tekstil (TPT) Indonesia tengah mengkhawatirkan. Dalam beberapa bulan terakhir, daya saing produk dalam negeri loyo akibat derasnya terjangan impor tekstil. Imbasnya, salah satu pemain besar tekstil, PT Delta Merlin Dunia Textile (DMDT), yang merupakan bagian dari Grup Duniatex, tumbang karena tak mampu membayar kewajiban kupon obligasi.
ADVERTISEMENT
Tren memburuknya industri tekstil diprediksi masih berlanjut. Bila gejolak impor tak dihambat, Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI) memperkirakan neraca perdagangan industri TPT nasional akan defisit dalam dua hingga tiga tahun mendatang.
Selisih neraca perdagangan jadi penyebab. Berdasarkan data APSyFI, surplus perdagangan industri TPT terus tergerus — dari 6,08 miliar dolar AS menjadi hanya 3,2 miliar dolar AS dalam 10 tahun terakhir. Penyebabnya, rata-rata pertumbuhan impor TPT pada rentang waktu tersebut mencapai 10,4%, jauh lebih tinggi dibandingkan rata-rata pertumbuhan ekspornya yang hanya 3%.
com-Surplus Neraca perdagangan industri tekstil dan produk tekstil Indonesia sejak 2008 hingga 2018 terus menurun. Foto: APSyFI
Bila diurai lebih dalam, selama 2008 hingga 2018, rata-rata pertumbuhan volume impor kain mencapai 12,8% namun tidak mampu mengerek ekspor garmen selama periode itu, yang turun 0,3%. Puncaknya terjadi dalam dua tahun terakhir, dengan rata-rata pertumbuhan volume impor kain mencapai 15,1% sedangkan ekspor garmen malah turun 2,5%.
ADVERTISEMENT
“Industri kain kita terpuruk mulai tahun 2009,” ujar Redma Gita Wirawasta, Sekjen APSyFi, kepada kumparan (kumparan.com) saat ditemui di The Westin, Jakarta Selatan, Senin (22/07). “Impor kain tahun 2007 itu hanya 300 ribu ton, ekspornya 500 ribu ton. Sekarang posisinya terbalik: impor kainnya 900 ribu ton, ekspor garmennya masih 500 ribu ton.”
Tidak naiknya volume ekspor, diakui Redma, membuat industri tekstil Indonesia tidak sehat terutama di industri tenun dan rajut.
“Karena ada impor kain di sini, kenaikan demand [di sektor hulu] enggak sebesar kenaikan konsumsi garmen. Itu yang bikin industri kainnya stagnan. Industri pemintalannya juga seperti itu. [Industri] seratnya juga sama.”
Kondisi berbeda terjadi di Vietnam, negara tetangga yang industri TPT-nya tengah bersinar. Neraca perdagangan TPT Vietnam terus meningkat dalam sepuluh tahun terakhir — dari 2 miliar dolar AS menjadi 26 miliar dolar AS. Vietnam bisa mencapai itu sejak industri TPT-nya terintegrasi dari hulu ke hilir.
com-Produk tekstil dalam negeri semakin tertekan dengan membanjirnya produk impor. Akibatnya, surplus perdagangan industri TPT pun tergerus. Foto: Triawanda Tirta Aditya/Shutterstock
Industri TPT Indonesia bukannya tidak terintegrasi dengan baik dari hulu ke hilir. Indonesia justru merupakan negara yang industri TPT-nya dewasa paling awal, bersama Tiongkok dan India.
ADVERTISEMENT
Redma memaparkan bahwa sejak investor masuk ke segmen serat, industri tekstil di Indonesia sudah sepenuhnya terintegrasi dari hulu sampai hilir. Di dunia, hanya sedikit negara yang memiliki industri tekstil yang terintegrasi mulai dari serat, benang, kain, sampai garmen.
“Hanya sedikit contohnya seperti Indonesia, China, dan India. Bangladesh cuma punya [industri] garmen saja. Vietnam dulu cuma punya garmen saja. Tapi sekarang dia mulai bangun industri ke hulunya,” ujar Redma.
Pemerintah sendiri punya harapan tinggi kepada industri TPT nasional. Demi mencapai target masuk lima besar negara eksportir TPT dunia pada 2030, pemerintah menetapkan industri TPT sebagai industri strategis dan prioritas nasional.
com-Ilustrasi pekerja memasang label pada produk baju. Hanya dengan menguasai pasar dalam negeri, industri TPT lokal dapat meningkatkan nilai ekspornya. Foto: Odua Images/Shutterstock
Namun, industri TPT Indonesia malah sedang menghadapi masalah serius. Salah satu industri yang menyerap tenaga kerja paling besar ini sedang lesu.
ADVERTISEMENT
Lesunya permintaan yang diakibatkan oleh banjir produk impor ini membuat para pelaku industri tekstil — terutama produsen benang dan serat — mengurangi produksi sejak awal tahun ini. Pabrikan mengurangi kapasitas produksi sebesar 15-20% karena permintaan di sektor hilir berkurang.
Pemerintah Indonesia bukannya tidak sadar atas ancaman yang dihadapi industri TPT. Pertengahan tahun ini, pemerintah menerbitkan payung hukum untuk kebijakan pengurangan pajak super (super deduction tax). Insentif ini berupa pemotongan nilai pajak penghasilan hingga 300% bagi institusi yang memfasilitasi pendidikan vokasi serta melakukan riset dan pengembangan terkait bisnisnya.
Sebelum super deduction tax, pemerintah sudah memberikan fasilitas pemotongan pajak badan sebesar 30% untuk sektor tekstil. Selain itu pemerintah juga pernah menyediakan insentif perpajakan tax holiday dan tax allowance. Namun, pelaku industri TPT yang memanfaatkan fasilitas tersebut tidak banyak.
ADVERTISEMENT
Masalahnya pemberian insentif pajak untuk industri TPT nasional dinilai kurang tepat sasaran. Pelaku industri TPT lebih membutuhkan kepastian pasar. Ketersediaan pasar nasional, menurut Redma, paling penting untuk menjamin perbaikan situasi industri TPT nasional.
com-Dua perempuan pekerja industri tekstil Indonesia. Masalah utama industri TPT bukan kurangnya insentif, melainkan impor yang tidak dikontrol. Foto: Khairul Effendi/Shutterstock
Walau demikian menyalahkan impor sepenuhnya adalah keliru. Beberapa bahan memang harus diimpor karena Indonesia tidak mampu memproduksinya sendiri. Contohnya adalah benang katun, kapas, sutra, dan serat dari bulu binatang untuk bahan baku wol.
“Kalau yang diimpor memang bahan baku yang tidak bisa kita produksi dalam negeri ya tidak apa-apa sih menurut saya, tapi kalau kita sudah bisa produksi sendiri kenapa harus diimpor lagi kan?” tutur Redma.
Persoalannya, bahkan bahan baku yang diproduksi sendiri pun — seperti serat rayon — masih diimpor.
ADVERTISEMENT
Padahal, Redma mengatakan saat ini permintaan serat rayon dalam negeri sudah bisa dipenuhi, salah satunya lewat kehadiran pemain baru di dunia tekstil, yaitu Asia Pacific Rayon (APR). APR merupakan anak usaha Royal Golden Eagle (RGE) yang baru beroperasi tahun ini, dengan kapasitas produksi serat rayon mencapai 240 ribu ton per tahun.
Redma mengatakan hadirnya rayon memberikan pilihan lain kepada pembeli untuk memproduksi garmen, selain dengan bahan baku lainnya seperti katun dan poliester.
“Saat ini harusnya kita tidak perlu impor serat rayon lagi. Dengan kapasitas produsen rayon existing saat ini ditambah produksi serat rayon dari APR, sudah cukup untuk memenuhi permintaan rayon dalam negeri, jadi sudah balance,” jelas Redma siang itu.
com-Hadirnya Asia Pacific Rayon (APR) memperkuat kapasitas serat rayon dalam negeri. Foto: Dok. APR
Sebelumnya, Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto mengatakan pengembangan pabrik rayon APR sangat strategis dalam memperkuat struktur industri tekstil dan produk tekstil (TPT) nasional.
ADVERTISEMENT
“Untuk itu kami mengapresiasi investasi dan komitmen APR yang telah mendukung agenda pemerintah terhadap industri strategis nasional, yakni sektor TPT, agar bisa lebih berkompetisi di pasar global,” tutur Airlangga.
Industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) merupakan satu dari lima industri sektor manufaktur (bersama Makanan dan Minuman, Otomotif, Kimia, serta Elektronik) yang diprioritaskan pemerintah dalam mengimplementasikan revolusi industri Making Indonesia 4.0, sesuai dengan peta jalan yang dikeluarkan oleh Kementerian Perindustrian. Dengan pengembangan lima industri prioritas tersebut ditargetkan ekonomi Indonesia dapat menjadi yang terbesar ke-10 pada 2030.
Dalam peta jalan tersebut, strategi yang diambil pemerintah untuk sektor tekstil, di antaranya, adalah: meningkatkan kemampuan di sektor hulu, fokus pada produksi serat kimiawi dan bahan pakaian dengan biaya yang lebih rendah dan berkualitas tinggi untuk meningkatkan daya saing di pasar global serta meningkatkan skala ekonomi untuk memenuhi permintaan functional clothing yang terus berkembang, baik di pasar domestik maupun ekspor.
ADVERTISEMENT
Untuk mencapai cita-cita menjadi negara dengan ekonomi terbesar ke-10 pada 2030, pemerintah memang masih harus bekerja keras dalam membenahi struktur pertekstilan di Indonesia. Berkaca dari situasi saat ini, ketersediaan pasar dan dukungan kepada produk yang sudah bisa diproduksi dalam negeri menjadi kunci utama agar kondisi buram industri TPT saat ini bisa kembali cemerlang.
Artikel ini merupakan hasil kerja sama dengan RAPP