Meski Tunda Larangan Sawit RI, Uni Eropa Dinilai Masih Diskriminatif

21 Juni 2018 15:48 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pekerja membawa kelapa sawit menggunakan motor (Foto: AFP PHOTO / Kharisma Tarigan)
zoom-in-whitePerbesar
Pekerja membawa kelapa sawit menggunakan motor (Foto: AFP PHOTO / Kharisma Tarigan)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Berdasarkan pertemuan tiga pihak antara Komisi Eropa, Parlemen Eropa, dan Dewan Uni Eropa pekan lalu, Uni Eropa akhirnya memutuskan untuk tidak melarang penggunaan biofuel berbahan minyak kelapa sawit (crude palm oil/CPO) hingga 2030. Sebelumnya Uni Eropa berencana melarang penggunaan CPO sebagai bahan dasar biofuel mulai 2021.
ADVERTISEMENT
Menanggapi hal ini, Ketua Harian Asosiasi Produsen Biodiesel Indonesia (Aprobi) Paulus Tjakrawan berpendapat bahwa keputusan tersebut tidak lepas dari peran pemerintah Indonesia untuk melawan diskriminasi Uni Eropa selama ini.
“Keputusan trialog antara Parleman, Komisi, dan Dewan Eropa bisa terjadi karena upaya pemerintah kita yang terus mendesak Uni Eropa agar tidak mendiskriminasi sawit dengan alasan apapun juga. Untuk itu kami sangat appreciate dan berterima kasih,” ungkap Paulus kepada kumparan, Kamis (21/6).
Paulus mengatakan, pihaknya akan terus mencermati perkembangan keputusan Uni Eropa tersebut. Sebab, menurutnya diskriminasi masih sangat mungkin kembali terjadi.
“Karena pada tahun 2030, yang pasti akan di-phase out hanya biodiesel berbasis sawit. Artinya sangat berpotensi adanya diskriminasi,” kata dia.
ADVERTISEMENT
Selain itu, Paulus mengatakan bahwa Indonesia juga harus mencermati hasil studi Komisi Eropa soal sawit. Studi tersebut berkaitan dengan deforestasi, direct/indirect land use change, hingga HAM bagi petani sawit.
Studi yang diharapkan selesai pada 2019 tersebut akan digunakan untuk persyaratan impor biodiesel berbasis sawit dan pemakaian sawit untuk biodiesel di Eropa.
“Untuk itu kami meminta agar pemerintah Indonesia, Malaysia, Thailand sebagai penghasil sawit diikutsertakan dalam studi tersebut. Mengapa kami ingin Indonesia, Malaysia, Thailand diikutsertakan, karena kami ingin studi tersebut objektif dan fair. Pengalaman selama ini banyak studi Uni Eropa yang tidak objektif,” pungkasnya.