Neraca Dagang Indonesia ke Uni Eropa Surplus USD 587 Juta

15 April 2019 14:01 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Kepala BPS Suhariyanto (tengah) pada Konferensi Pers Neraca Perdagangan Maret 2019 di Gedung BPS, Jakarta. Foto: Selfy Sandra Momongan/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Kepala BPS Suhariyanto (tengah) pada Konferensi Pers Neraca Perdagangan Maret 2019 di Gedung BPS, Jakarta. Foto: Selfy Sandra Momongan/kumparan
ADVERTISEMENT
Komisi Uni Eropa (UE) memutuskan bahwa kelapa sawit mengakibatkan deforestasi berlebihan. Dengan dalih tersebut, Komisi UE telah resmi melarang penggunaan minyak kelapa sawit sebagai biodisel. Meski demikian Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat neraca perdagangan Indonesia terhadap Uni Eropa tidak mengalami perubahan signifikan akibat adanya kebijakan tersebut.
ADVERTISEMENT
Kepala BPS Suhariyanto mengatakan, secara umum, neraca perdagangan Indonesia ke kawasan tersebut pada Januari hingga Maret 2019 masih mencatatkan surplus sebesar USD 587 juta. Rinciannya, ekspor tercatat sebesar USD 3,6 miliar sementara impor sebesar USD 3,02 miliar.
"Secara umum neraca perdagangan kita masih positif," ungkap Suhariyanto di Gedung BPS, Jakarta, Senin (15/4).
Meski demikian, Suhariyanto mengakui jika dirinci berdasarkan per negara kawasan di Uni Eropa, neraca perdagangan Indonesia memang mengalami defisit di beberapa negara akibat kebijakan tersebut. Misalnya, dengan Inggris, neraca perdagangan Indonesia mengalami penurunan sebesar 22 persen. Hal yang sama juga terjadi dengan Belanda, yang turun 39 persen.
Ilustrasi Kelapa Sawit Foto: Pixabay
"Demikian juga Jerman, Italia, Spanyol, Rusia juga turun. Kita tahu terjadi karena negative campaign CPO (Crude Palm Oil). Saya yakin pemerintah sudah antisipasi dengan membuat berbagai kebijakan,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
Seperti diketahui, pemerintah Indonesia bersama dengan negara-negara produsen minyak kelapa sawit terbesar dunia, yakni Malaysia dan Kolombia, telah melakukan Joint Mission ke Belgia pada 8-9 April 2019. Kunjungan tersebut dilakukan untuk menekan Uni Eropa agar mencabut kebijakan diskriminasi kelapa sawit.
Pemerintah Indonesia menilai kebijakan Uni Eropa tersebut tidak didasari atas penelitan yang benar terhadap dampak lingkungan dari produksi minyak kelapa sawit. Metodologi dan hipotesa yang digunakan Uni Eropa tentang risiko dan pengaruh buruk kelapa sawit terhadap perusakan hutan itu juga dianggap ditetapkan secara sepihak. Bahkan metodologi tersebut bertentangan dengan fakta yang ada dan tanpa adanya impact analysis.