OJK Akan Atur Modal Minimum di Perusahaan Fintech
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Modal ini terpisah dari dana simpanan dan dana pinjaman. Tujuannya agar saat ada risiko pembayaran mandek oleh peminjam uang, dana ini bisa dijadikan sebagai jaminan. Ini merupakan bentuk tanggung jawab perusahaan fintech atau penyedia platform untuk mengelola dan melindungi pemberi pinjaman atau investor.
"Lock up itu gimana? Bahwa dia harus punya modal tertentu yang tidak dipakai untuk macam-macam, misal setor modal Rp 2 miliar, bisa saja modalnya kita lock up untuk tidak dipakai. Kalau ada jumlah dana yang kita lock up, paling enggak mereka itu berhati-hati," ujar Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso dalam diskusi bersama Redaktur Media Massa, di Hilton Hotel, Bandung, Jawa Barat, Sabtu (3/3).
Wimboh menjelaskan, dana atau modal yang di-lock up tersebut untuk mengantisipasi terjadinya risiko di bisnis fintech mengingat bunga pinjaman yang dipatok fintech ini cukup besar hingga kisaran 19%, lebih tinggi dari bungan pinjaman Kredit Usaha Rakyat (KUR) misalnya yang hanya 7%.
ADVERTISEMENT
Terlebih, rasio kredit bermasalah atau Non Performing Loan (NPL) perusahaan fintech terus naik. Di Desember 2017 tercatat hanya 0,7%, namun di Januari 2018 langsung naik menjadi 1,2%.
"Perlu hati-hati adanya risiko default pinjaman yang melalui platfom. Suku bunga rata-rata 19%, kalau suku bunganya mahal, ada yang lebih 19%, apakah itu tidak seperti rentenir?" kata Wimboh.
Wimboh menjelaskan, aturan OJK terhadap perusahaan fintech ini semata-mata hanya untuk memberikan perlindungan kepada konsumen.
"Perkambangan fintech tidak bisa kita bendung, tapi yang paling penting bagaimana masyarakat bisa terlindungi kepentingannya. Dalam hal ini konteksnya OJK punya tugas edukasi dan perlindungan konsumen," ucap Wimboh.