Organda: Jumlah Taksi dan Angkot Menurun Gara-gara Transportasi Online

28 Mei 2018 15:45 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi Taksi Online (Foto: Thinkstock)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Taksi Online (Foto: Thinkstock)
ADVERTISEMENT
Maraknya transportasi online saat ini sangat memukul usaha transportasi konvensional. Hal ini berdampak pada kondisi bisnis angkutan darat konvensional, khususnya taksi.
ADVERTISEMENT
Sepanjang tahun ini, Ketua Organisasi Angkutan Darat (Organda) DKI Jakarta, Shafruhan Sinungan, mengungkapkan bahwa jumlah taksi konvensional menurun karena banyak yang gulung tikar.
Aksi mogok pengemudi taksi di Batam (Foto: Antara/M N Kanwa)
zoom-in-whitePerbesar
Aksi mogok pengemudi taksi di Batam (Foto: Antara/M N Kanwa)
Menurut catatan Organda, jumlah taksi konvensional pada 2014 masih 17 ribu dan di 2016 tinggal 10 ribu. Di Surabaya, taksi konvensional berkurang dari 5 ribu pada 2015 menjadi hanya 3 ribu pada 2017.
"Taksi konvensional yang ada semuanya pada posisi menurun. Di DKI dan sekitarnya dengan izin sebanyak 27 ribu secara gradual menurun dari 2013 hampir 16 ribu, tahun 2014 sebanyak 17 ribu, tahun 2015 jadi sebanyak 11.500, dan 2016 menjadi 10.500. Di Surabaya, jumlah yang ada di tahun 2015 sekitar 5 ribu unit taksi konvensional, sekarang, tahun 2017 tinggal 3 ribu taksi konvensional," katanya dalam rapat dengan Komisi V DPR RI, Jakarta, Senin (28/5).
ADVERTISEMENT
Dia juga mengungkap bahwa jumlah angkot yang ada di Jakarta mengalami penurunan dari sebelumnya pada tahun 2013 sebanyak 14 ribu menjadi 9.300 unit di tahun 2017.
"Kami catat bahwa dampak kehadiran moda transportasi online ini mengakibatkan adanya segmentasi, maka pendapatan kotor transportasi konvensional pun menurun. Misalnya Blue Bird, Express, dan Zebra," tambahnya.
Agar transportasi konvensional tak terus tergerus, Organda menuntut adanya penegakan aturan yang tegas dan tetap berlandaskan pada keseimbangan pasokan dan permintaan, serta keberlangsungan layanan yang baik.
"Terkait rencana perubahan aplikator jadi perusahaan transportasi barangkali perlu ditinjau ulang. Kami melihat aplikasi yang bergerak harus tunduk pada peraturan Kemenhub dan berlaku tidak sebagai perusahaan angkutan umum, namun sebagai perusahaan penyedia jejaring transportasi saja," imbuhnya.
ADVERTISEMENT