Pabrik Rokok Bakal Berkurang Akibat Penyederhanaan Tarif Cukai

13 Agustus 2018 16:08 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Petugas Bea Cukai dan Industri Rokok (Foto: Dok. Bea cukai)
zoom-in-whitePerbesar
Petugas Bea Cukai dan Industri Rokok (Foto: Dok. Bea cukai)
ADVERTISEMENT
Pemerintah akan menyederhanakan layer tarif cukai rokok pada tahun depan. Hal ini sesuai implementasi Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 146 Tahun 2017 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau.
ADVERTISEMENT
Dalam roadmap tersebut, pemerintah menyederhanakan layer tarif rokok setiap tahun berturut-turut menjadi 10, 8, 6, dan menjadi 5 layer di tahun 2021. Sedangkan pada 2017, tarif cukai rokok terdiri dari 12 layer.
Direktur Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Enny Sri Hartati, mengatakan dalam beleid tersebut nantinya rokok jenis Sigaret Kretek Mesin (SKM) golongan 2A dan 2B akan menjadi satu golongan. Padahal, industri 2A merupakan pabrik dengan skala lebih besar ketimbang 2B.
"Tentu 2A dan 2B dimaknai antara menengah dan kecil, kalau digabungkan dikhawatirkan yang kecil-kecil ini secara persaingan usaha kalah dengan menengah. Sehingga ini membuat industri kelompok kecil akan tersisih," kata Enny dalam diskusi di kawasan Cikini, Jakarta, Senin (13/8).
ADVERTISEMENT
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan, jumlah pabrik rokok terus mengalami pengurangan. Pada 2011, jumlah pabrik rokok sebanyak 1.540, sementara pada 2012 menjadi 1.000 pabrik, dan pada 2013 sebanyak 800 pabrik.
Selanjutnya di 2014 pabrik rokok menjadi sebanyak 700, berkurang menjadi 600 pabrik di 2015 dan 2016. Serta di 2017, jumlah pabrik rokok hanya sebanyak 487 pabrik.
Enny menjelaskan, penggabungan struktur tarif SKM membuat golongan 2B membangun holding atau merger antara satu dengan yang lainnya, sehingga skala produksi dapat terpenuhi dan kontinuitas bisnis dapat berjalan.
Namun akuisisi ini juga dinilai menyebabkan industri rokok semakin terancam dengan keberadaan asing mengingat modal mereka yang lebih kuat. "Dampak negatif yang paling tidak diharapkan adalah para pelaku usaha di golongan 2B beralih ke produksi rokok ilegal, yang tentu semakin merugikan pemerintah," jelasnya.
ADVERTISEMENT
Tak hanya itu, aturan mengenai penggabungan tarif cukai antara Sigaret Putih Mesin (SPM) dan Sigaret Kretek Mesin (SKM), dapat menghilangkan ciri khas Indonesia sebagai rokok yang meggunakan bahan baku lokal, yakni cengkeh dan tembakau. Sedangkan SPM menggunakan bahan baku impor.
Menurut dia, penggabungan ini mematikan potensi SKM yang menyerap ahan baku lokal dan padat karya.
"Sehingga ini yang menimbulkan banyak pertanyaan kalau memang pemerintah ini menganggap kretek bisa berpotensi, menjadi produk ungulan ekspor, mestinya tidak disamakan dengan rokok putih, karena rokok putih ini berbeda memang," katanya.