Pajak Tembakau Impor Diusulkan 60%, Industri Rokok RI Bisa Terancam

24 Januari 2018 17:29 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi petani tembakau. (Foto: ANTARA/Harviyan Perdana Putra)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi petani tembakau. (Foto: ANTARA/Harviyan Perdana Putra)
ADVERTISEMENT
Panja Khusus DPR kembali membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) Pertembakauan dengan pemerintah, pengusaha, dan pengamat. Salah satu poin yang dibahas dalam RUU ini adalah pengenaan pajak bea masuk sampai 60% pada tembakau impor.
ADVERTISEMENT
Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo mengungkapkan rencana ini justru akan berpotensi merugikan industri rokok nasional. Menurut Yustinus, Indonesia sampai sekarang masih rutin mengimpor produk tembakau impor.
“Sementara kebutuhan kita untuk tembakau impor masih sangat tinggi, karena produksi tembakau dalam negeri tidak cukup memenuhi kebutuhan industri,” kata Yustinus dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Pansus RUU Pertembakauan di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Rabu (24/1).
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), lanjut Yustinus, kebutuhan tembakau pada 2015 melonjak hingga angka 363 ribu ton. Sedangkan produksi tembakau dalam negeri hanya bisa memenuhi 164 ribu ton saja. Luas lahan dan jumlah petani juga semakin berkurang setiap tahunnya.
Untuk itu, menurut Yustinus, pembatasan impor dengan mengenakan pajak bea masuk tinggi tidak sesuai dengan kondisi di lapangan bahwa produksi tembakau lokal memang belum bisa mencukupi kebutuhan pabrik rokok. Hal ini justru berpotensi untuk mematikan industri rokok di Indonesia.
ADVERTISEMENT
“Selain itu, secara kualitas produksi tembakau dalam negeri juga masih kalah dengan tembakau impor. Ada juga varietas yang tidak bisa diproduksi Indonesia, seperti jenis Victoria yang harus diimpor dari Turki,” jelasnya.
Ilustrasi ladang tembakau.  (Foto: ANTARA/Destyan Sujarwoko )
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi ladang tembakau. (Foto: ANTARA/Destyan Sujarwoko )
Tak hanya itu, dalam aturan World Trade Organization (WTO), bea masuk terhadap impor tembakau juga disebutkan maksimal hanya 40%. Selama ini tarif bea masuk tembakau di Indonesia bervariasi dari 5% hingga 40%. Artinya, jika tarif bea masuk 60% diberlakukan, maka pemerintah menabrak aturan WTO. Indonesia juga berpotensi mendapatkan sanksi internasional.
"Bagaimana mungkin RUU ini mengusulkan tarif bea masuk 60% impor tarif tembakau, sedangkan aturan WTO maksimal hanya 40%," katanya.
Sementara itu, Ketua Komisi Tetap Pengembangan Industri Pertanian Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Herman Rahman menjelaskan, produksi tembakau di dalam negeri belum maksimal baik secara kuantitas maupun kualitas.
ADVERTISEMENT
“Sehingga harga di bawah HPP (harga pokok penjualan) yang diharapkan. Sementara pabrik-pabrik rokok menginginkan kualitas yang baik sehingga sangat mengandalkan impor tembakau,” timpal Herman.
Untuk itu, Kadin tetap mendukung upaya bimbingan kepada petani dengan program kemitraan bersama industri rokok. Tujuannya adalah ada perbaikan dari segi kualitas tembakau dalam negeri. Sehingga, pabrik rokok mau menyerap tembakau hasil produksi petani.
“Inilah yang menyebabkan kekhawatiran industri terhadap kecukupan, sehingga mengharapkan impor. Harusnya kita mengoptimalkan 228 hektare sawah yang kita punya, paling tidak produksi bisa meningkat menjadi 260 ribu ton sehingga impor bisa ditekan,” lanjutnya.