Pemerintah Diminta Transparan Soal Pembelian 51 Persen Saham Freeport

14 Juli 2018 6:31 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Kendaraan berat mengumpulkan bebatuan dengan endapan emas di kompleks pertambangan Grasberg Freeport McMoRan. (Foto: AFP PHOTO / Olivia Rondonuwu)
zoom-in-whitePerbesar
Kendaraan berat mengumpulkan bebatuan dengan endapan emas di kompleks pertambangan Grasberg Freeport McMoRan. (Foto: AFP PHOTO / Olivia Rondonuwu)
ADVERTISEMENT
Pemerintah Indonesia melalui holding BUMN pertambangan, PT Indonesia Asahan Aluminium (Persero) atau Inalum, menandatangani Heads of Agreement​ ​atau kesepatan pokok dengan Freeport McMoran Inc. (FCX) dan Rio Tinto terkait penjualan saham FCX dan hak partisipasi Rio Tinto di PT Freeport Indonesia (PT FI) pada Kamis, 12 Juli 2018.
ADVERTISEMENT
Koalisi Masyarakat Sipil Publish What You Pay (PWYP) Indonesia mengapresiasi langkah pemerintah yang selama 3,5 tahun belakangan untuk menyelesaikan polemik kontrak Freeport menjelang berakhirnya masa kontrak pada 2021.
Namun, Publish What You Pay memberikan beberapa catatan kritis karena menilai masih banyak pekerjaan yang harus diselesaikan dan didetailkan menyangkut kepastian pengelolaan sumber daya alam yang selama ini dikuasai Freeport di wilayah Papua tersebut.
"Prosesnya harus berjalan transparan dan akuntabel, diperlukan konsistensi para pihak dalam memegang kesepakatan, serta pertimbangan berbagai aspek secara komprehensif termasuk aspek lingkungan, sosial, dan kepentingan masyarakat lokal di Papua," kata Maryati Abdullah, Koordinator Nasional Koalisi PWYP Indonesia dalam keterangan tertulisnya.
Maryati mengatakan, transparansi merupakan hal krusial agar publik mendapatkan informasi yang benar dan seimbang mengenai keadaan sesungguhnya dari proses yang sedang berlangsung, sehingga tidak terjadi informasi yang asimetris yang dapat memicu kekeliruan bahkan polemik publik yang tidak sehat.
ADVERTISEMENT
"Dokumen dan informasi kesepakatan dan kesepahaman sejatinya dapat ditunjukkan dan dibuka kepada publik, agar tidak terjadi salah tafsir. Misalnya, dari proses HoA kemarin, mengapa bukan isi HoA yang didetailkan melainkan justru yang beredar siaran pers dari masing-masing pihak, yang satu sama lain bisa saja berbeda sudut penekanan," katanya.
Suasana penggalian di Freeport.
 (Foto:   Instagram @freeportindonesia)
zoom-in-whitePerbesar
Suasana penggalian di Freeport. (Foto: Instagram @freeportindonesia)
Sebagai bagian dari akuntabilitas, kata Maryati, Publish What You Pay mengapresiasi upaya pemerintah melaporkan perkembangan setiap prosesnya kepada publik. Namun jika tanpa transparansi, maka potensi penggiringan informasi yang menyesatkan ataupun politisasi opini sangatlah rawan.
Menurut Maryati, penandatanganan Heads of Agreement ini masih menyisakan banyak pertanyaan untuk didalami secara kritis agar benar-benar memberikan keuntungan bagi Indonesia. Di antaranya terkait metode valuasi atau penentuan nilai kepemilikan saham Indonesia pada PTFI apakah tercapai kesepahaman final jumlah dan nilai perhitungan.
ADVERTISEMENT
"Apakah penandatanganan kesepakatan itu telah final, hingga dapat disebut penguasaan 51% saham telah sah?" katanya.
Lebih lanjut, dengan HoA tersebut tersirat pengelolaan tambang oleh Freeport akan berlanjut hingga 2041. Maryati mempertanyakan apakah telah tercapai kesepahaman-komitmen dan kesepakatan bentuk pengelolaan yang menurut Undang-Undang RI, bukan lagi berbentuk Kontrak Karya melainkan IUPK (Izin Usaha Pertambangan Khusus).
"Artinya, PTFI bukan hanya harus melepaskan 51% sahamnya untuk dimiliki Indonesia. Namun perlu ditegaskan, PTFI juga harus menyepakati klausa kewajiban melakukan pengolahan dan pemurnian di dalam negeri untuk peningkatan nilai tambah, bersepakat atas ketentuan fiskal dan perpajakan secara prevailingyang disyaratkan Pemerintah, serta bersedia mematuhi segala ketentuan standar lingkungan dan sosial yang berlaku di yurisdiksi Indonesia. Jika tidak, maka Pemerintah dapat sewaktu-waktu memberi sanksi bahkan mengakhiri IUPK Freeport.”
ADVERTISEMENT
Hal senada disampaikan Direktur Eksekutif Institute for Essential Service Reform (IESR) Fabby Tumiwa. Menurut dia, perjanjian yang ditandatangani baru merupakan Head of Agreement, masih banyak hal-hal rinci yang masih akan dirundingkan antara FCX dan Pemerintah Indonesia.
Pada dasarnya, kata dia, hasil negosiasi pada Agustus 2017 dan Juli 2018 tidak banyak berubah walaupun pada saat ini nilai ambil alih kepemilikan telah disepakati sebesar USD 3,85 miliar. Tapi, dia melanjutkan, perlu diingat bahwa nilai tersebut merupakan pembayaran “participating interest” Rio Tinto di operasi saat ini dan USD 350 juta untuk FCX.
"Pemerintah perlu memberi klarifikasi atas klaim Indonesia telah menguasai 51% saham PT FI. Publik perlu mencermati tahapan perundingan berikutnya, termasuk pelaksanaan tanggung jawab Freeport mengatasi kerusakan lingkungan dari operasi selama ini. Jangan sampai beban itu dialihkan kepada Inalum seiring dengan penguasaan mayoritas saham PT FI,” katanya.
Suasana penggalian di Freeport.
 (Foto:   Instagram @freeportindonesia)
zoom-in-whitePerbesar
Suasana penggalian di Freeport. (Foto: Instagram @freeportindonesia)
Terkait dengan aspek lingkungan sosial, Manajer Advokasi​ ​PWYP Indonesia, Aryanto Nugroho, mendesak pemerintah terlebih dahulu mengusut enam ​indikasi pelanggaran lingkungan yang dilakukan PT Freeport Indonesia berdasarkan laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas Penerapan Kontrak Karya PT Freeport tahun 2013-2015.
ADVERTISEMENT
Adapun enam temuan tersebut antara lain penggunaan kawasan hutan lindung, kelebihan pencairan jaminan reklamasi, penambangan bawah tanah tanpa izin lingkungan, kerusakan karena pembuangan limbah di sungai, muara dan laut, utang kewajiban dana pascatambang, dan penurunan permukaan akibat tambang bawah tanah.
Sejauh ini masalah-masalah tersebut belum menemui titik terang penyelesaian, padahal BPK telah menghitung potensi kerugian negara yang ditimbulkan oleh Freeport jumlahnya sangat fantastis, yakni sebesar Rp 185,563 triliun," ujarnya.
Persoalan lainnya adalah penyelesaian 47 ​dugaan pelanggaran lingkungan PTFI dari hasil temuan Kementerian Lingkungan Hidup yang meliputi ketidaksesuaian operasi Freeport dengan rencana pemantauan dan pengelolaan lingkungan, serta PT FI tidak memantau dan mengendalikan beragam polusi di udara, laut, sungai, dan hutan.
ADVERTISEMENT
"Termasuk di antara polusi itu adalah limbah berkategori bahan berbahaya dan beracun (B3)," katanya.
Sementara itu, Nurkholish Hidayat dari Kantor Hukum dan Hak Asasi Manusia – LOKATARU mengingatkan agar tidak mengabaikan status dan kondisi pekerja PT Freeport Indonesia, khususnya 8.400 pekerja yang mogok dan PHK. Nurcholish menyesalkan absennya suara Pemerintah – khususnya Menteri Tenaga Kerja terkait nasib para pekerja yang mogok tersebut.
“Perhatian Pemerintah atas kondisi pekerja seharusnya sama besar dengan perhatian terhadap kondisi lingkungan dan ekonomi," katanya.