Pemerintah Harus Agresif Genjot Kerja Sama Bilateral Perdagangan

27 Maret 2019 19:23 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Bongkar Muat di Pelabuhan Tanjung Priok. Foto: Antara/Muhammad Adimaja
zoom-in-whitePerbesar
Bongkar Muat di Pelabuhan Tanjung Priok. Foto: Antara/Muhammad Adimaja
ADVERTISEMENT
Pemerintah diminta untuk lebih agresif dalam hal perdagangan dengan negara lain. Kebijakan itu dilakukan demi memperbaiki neraca perdagangan Indonesia yang selalu mengalami defisit.
ADVERTISEMENT
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi), Adhi Lukman, mengatakan strategi 'menyerang' perlu dilakukan Indonesia. Mengingat sejumlah negara juga menerapkan proteksionisme.
"Dalam perdagangan kita harus lakukan strategi menyerang, lebih agresif. Kita enggak bisa bicara regional, tapi G2G, bilateral," kata Adhi di Hotel Millenium Jakarta, Rabu (27/3).
Adapun strategi 'menyerang' yang dimaksud yaitu memaksimalkan kesepakatan bilateral antarnegara, tidak lagi hanya mengandalkan kerja sama multilateral. Salah satunya membuat Free Trade Agreement (FTA) khusus dengan negara-negara tujuan dagang.
Menurut Adhi, langkah tersebut sangat penting karena sejumlah negara sudah melakukan kesepakatan. Hasilnya, negara tersebut bisa saling menguntungkan dalam hal perdagangan.
Adhi mencontohkan, Vietnam melakukan kesepakatan dengan negara-negara di Afrika atau Amerika Latin. Dampaknya, Vietnam diberikan tarif bea masuk impor yang lebih rendah.
ADVERTISEMENT
"Kita masih banyak hambatan tarif, pangan olahan bisa kena di atas 30 persen. Vietnam jauh lebih rendah," jelasnya.
Di sisi lain, untuk memperbaiki neraca perdagangan, perlu dilakukan pendekatan khusus kepada negara-negara yang selama ini sudah menjadi pasar tradisional ekspor Indonesia, seperti AS, China dan India.
"Kami dengan Kadin sudah lakukan pendekatan ke Kamerun, Rwanda. Coba cara barter, kami minta ini, mereka minta itu. Satu lawan satu, ini harus dilakukan," katanya.
Kapal kargo asing tengah bongkar muat peti kemas mengangkut komoditas ekspor impor di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta. Foto: Wendiyanto/kumparan
Selain itu, pemerintah juga dinilai perlu mengkaji kembali regulasi yang sering menjadi hambatan perdagangan. Menurut dia, banyak regulasi pemerintah yang saling tumpang tindih.
"Makanya pemerintah, dunia usaha, ini harus bersatu bagaimana review regulasi-regulasi yang menghambat, saling tabrakan satu sama lain yang ujungnya hambatan industri," ujarnya.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), ekspor Indonesia selama Februari 2019 sebesar USD 12,53 miliar atau turun 10,03 persen jika dibandingkan bulan sebelumnya (mtm) ataupun turun 11,33 persen dibandingkan tahun sebelumnya (yoy).
Secara kumulatif dari Januari-Februari 2019, total ekspor sebesar USD 26,46 miliar atau turun 7,76 persen (yoy), ekspor nonmigas sebesar USD 24,14 miliar atau turun 7,07 persen (yoy). Sementara migas sebesar USD 2,32 miliar atau turun 14,42 persen (yoy).
Penurunan ekspor terbesar terjadi pada tiga negara tujuan ekspor, yaitu China, AS, dan Jepang. Dibandingkan dengan Januari 2019, ekspor ke tiga negara tersebut turun signifikan, AS turun 15,79 persen, China 11,07 persen, dan Jepang turun 13,57 persen.