news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Penggunaan Biodiesel Bisa Atasi Boikot Uni Eropa atas Minyak Sawit RI

2 April 2019 11:44 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Aktivitas Petani Plasma Kelapa Sawit Asian Agri di Provinsi Riau, Jumat (22/3). Foto: Abdul Latif/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Aktivitas Petani Plasma Kelapa Sawit Asian Agri di Provinsi Riau, Jumat (22/3). Foto: Abdul Latif/kumparan
ADVERTISEMENT
Di tengah aksi boikot Uni Eropa terhadap produk minyak sawit untuk penggunaan bahan bakar, penyerapan biodiesel dalam program mandatori B20 di dalam negeri, terus meningkat. Jika program mandatori ini terus ditingkatkan, diharapkan bisa mengatasi penurunan ekspor CPO ke Uni Eropa.
ADVERTISEMENT
Keterangan tertulis Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), mengungkapkan setiap bulan ada peningkatan penyerapan, dari perluasan mandatori biodiesel 20 persen (B20) kepada non-PSO. Sepanjang Februari lalu misalnya, penyerapan biodiesel di dalam negeri mencapai lebih dari 648 ribu ton atau naik 17 persen dibandingkan dengan bulan Januari, yang hanya mencapai 552 ribu ton.
“Kita berharap uji coba B30 dapat segera dilaksanakan dan diharapkan dapat mempercepat implementasi program mandatori B30,” kata Direktur Eksekutif GAPKI, Mukti Sardjono, melalui pernyataan tertulis, Selasa (2/4).
Menurutnya, peningkatan penggunaan biodiesel berbasis CPO, selain akan meningkatkan penggunaan CPO dalam negeri juga akan menghemat devisa impor migas, yang selama ini nilainya sangat besar.
“Dengan tingginya penggunaan CPO dalam negeri, akan mengurangi ketergantungan kepada ekspor,” imbuh dia.
ADVERTISEMENT
Apalagi saat ini sawit Indonesia sedang menghadapi hambatan perdagangan, yang diterapkan oleh Komisi Uni Eropa. Mulai 13 Maret 2019 lalu, Komisi Eropa telah mengadopsi Renewable Energi Directive II (RED II), yang menghapuskan penggunaan biodiesel berbasis minyak sawit.
Ilustrasi Biodiesel Foto: Reuters/Mike Blake
Alasannya, perkebunan kelapa sawit dianggap memicu penggundulan hutan alam (deforestasi). “Meskipun landasan ilmiah RED II banyak dipertanyakan, diskriminasi negara Uni Eropa ini tentunya sangat merugikan negara produsen sawit,” ujar Mukti.
Senada dengan Mukti, Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Imaduddin Abdullah menilai, hambatan di negara-negara tujuan ekspor minyak sawit Indonesia justru bisa menjadi pendorong percepatan implementasi B100.
Karena menurutnya, terjadi peningkatan stok bahan baku yang mau tak mau harus diolah di dalam negeri. Sedangkan dari sisi produksi, jika investasi kilang baru terus ditingkatkan, maka kapasitas produksi untuk B100 juga bisa tercapai.
ADVERTISEMENT
“Tantangannya adalah menarik investor untuk investasi. Untuk itu, perlu kepastian kebijakan dari target pencampuran ini,” kata Imaduddin menjawab kumparan.
Data INDEF menunjukkan, selama ini hanya sekitar seperempat produk minyak sawit nasional, yang digunakan di dalam negeri. Sisanya diekspor sebagai bahan baku, sehingga nilai tambahnya masih kecil.
Pandangan Imaduddin, diperkuat oleh simulasi yang dilakukan ekonom INDEF lainnya, Ahmad Heri Firdaus. Dengan metode Computable General Equilibrium, Heri mendapati dampak penghentian ekspor minyak sawit untuk biofuel ke Uni Eropa, malah bagus untuk industri hilir sawit dalam negeri.
“Jadi terlepas dari kita yang harus merespon Uni Eropa atas RED II, kita juga harus membuka peluang terciptanya hilirisasi yang semakin optimal,” kata Heri.
Apalagi menurut dia, keunggulan ekspor sawit Indonesia masih sebatas di produk antara. Sedangkan ekspor produk akhir, justru semakin kecil pangsa pasarnya. Sementara Belanda yang merupakan importir minyak sawit terbesar Indonesia di Uni Eropa, justru unggul di beberapa produk hilir sawit.
ADVERTISEMENT