Pengusaha Keberatan Semua Barang dan Jasa Wajib Disertifikasi Halal

3 Juli 2018 9:55 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi produk halal. (Foto: Munady)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi produk halal. (Foto: Munady)
ADVERTISEMENT
Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menolak aturan tentang kewajiban pelabelan atau sertifikat halal pada semua sektor barang dan jasa yang akan diterapkan pada 17 Oktober 2019 mendatang. Kebijakan ini merupakan implementasi Undang Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH) yang disahkan pada 17 Oktober 2014 lalu.
ADVERTISEMENT
Ketua Umum Apindo Hariyadi Sukamdani mengatakan, sejak awal pembentukan UU ini pada era pemerintahan SBY, pihaknya sudah menyatakan keberatan. Sebab, dalam UU tersebut sertifikat halal menjadi sebuah kewajiban (mandatory), bukan lagi sukarela (voluntary). Perusahaan wajib melabelhalalkan barang atau jasanya.
Menurutnya, jika kebijakan itu jadi diterapkan tahun depan akan menimbulkan beberapa masalah. Pertama, biaya untuk sertifikasi halal setiap barang dan jasa yang mereka miliki akan sangat besar sekali. Dia mengatakan hal ini akan membuat pengeluaran untuk sertifikasi bengkak.
“Ini memukul daya saing. Apalagi sektor farmasi. Itu dia kalau mau bikin yang 100% halal itu risetnya mau berapa biayai? Kan susah jadinya,” katanya saat dihubungi kumparan, Selasa (3/7).
ADVERTISEMENT
Kedua, akan menimbulkan masalah di masayarakat. Dengan adanya aturan ini, dia khawatir akan ada pihak yang akan menjelek-jelekkan perusahaan yang tidak semua barang dan jasanya disertifikasi halal. “Khawatir ada yang manasin karena masalah keyakinan, sensitif. Nanti akan ada kerawanan sosial,” lanjutnya.
Ketiga, aturan ini juga menimbulkan potensi munculnya sertifikat palsu tentang kehalalan suatu produk dan jasa. Keempat, menurutnya, bukan tidak mungkin negara lain akan menuntut Indonesia. Katanya, bisa saja aturan ini digugat oleh negara luar yang memiliki hubungan perdagangan dengan Indonesia.
“Dan kemungkinan ini bisa dibawa ke persidangan WTO (World Trade Organization) karena ini unfair barrier,” jelasnya.
Masalah kelima, Hariyadi juga khawatir mandatori sertifikasi halal ini akan menjadi wadah bagi lembaga yang mencari rente dalam setiap lembar sertifikat yang dikeluarkan. Sebab, setiap 4 tahun sekali, para pengusaha harus memperbaharui status kehalalan barang dan jasa mereka.
ADVERTISEMENT
“Ini bisa menjadi cara mereka mencari rente dengan mengeluarkan sertifikat karena itu setelah empat tahun sekali akan bayar lagi. Mencari rente. Aturannya enggak benar. Dari awal kami udah menolak tegas enggak bisa yang namanya sertifikasi dibikin mandatory. Itu di mana-mana di seluruh dunia itu namanya voluntary,” tegasnya.
Sebagai pelaku usaha, pihaknya pun merasa bingung harus memprotes ke mana. Sebab, menurut perhitungannya, Apindo juga meragukan jika Mahkamah Konstitusi (MK) mau membatalkan UU ini.
“Sekarang kalau mau dibawa ke MK, kita juga berhitung apakah hakimnya mau atau tidak. Ini kan masalah sensitif. Apa mau MK mengabulkan? Ini bahaya. Jadi kita berharap DPR secara sukarela me-review sendiri atau kita berharap ini dipatahkan di pengadilan WTO. Kita berharap ada negara menggugat dan dipatahkan di WTO. Tapi siapa yang berani menggarap ini?” pungkasnya.
ADVERTISEMENT