Penjelasan ESDM soal Harga Listrik PLTS Atap yang Dinilai Kemurahan

28 November 2018 17:19 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Suasana atap masjid Hamdan al-Qara di Amman selatan, dilengkapi dengan 140 panel surya di atapnya. (Foto: Khalil Mazraawi / AFP)
zoom-in-whitePerbesar
Suasana atap masjid Hamdan al-Qara di Amman selatan, dilengkapi dengan 140 panel surya di atapnya. (Foto: Khalil Mazraawi / AFP)
ADVERTISEMENT
Peraturan Menteri ESDM Nomor 49 Tahun 2018 tentang Penggunaan Sistem Pembangkit Listrik Tenaga Surya Atap oleh Konsumen PT PLN (Persero), yang baru saja ditandatangani oleh Menteri ESDM Ignasius Jonan, mendapat protes dari Perkumpulan Pengguna Surya Atap (PPLSA) dan Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI).
ADVERTISEMENT
PPLSA dan AESI menyoroti ketentuan soal perhitungan ekspor dan impor listrik dari sistem PLTS atap. Dalam Pasal 6 Permen ini, diatur bahwa listrik dari surya atap yang masuk ke jaringan PLN (ekspor) hanya dihargai sebesar 65 persen dari tarif listrik PLN. Padahal di aturan PLN yang ada sebelum Permen ini terbit, listrik yang diekspor ke PLN dihargai sama dengan listrik PLN yang diimpor pelanggan.
Sebagai gambaran, tadinya listrik dari PLTS atap yang diekspor ke PLN dihargai Rp 1.400 per kWh sesuai tarif listrik PLN. Sekarang berdasarkan aturan baru Jonan hanya dihargai Rp 910 per kWh. Kalau dulu dalam sebulan tagihan listrik pengguna PLTS atap bisa berkurang Rp 140.000 per bulan karena mengekspor 100 kWh ke PLN, kini penghematannya turun jadi Rp 91.000 per bulan.
ADVERTISEMENT
Dampaknya, biaya investasi yang dikeluarkan pengguna surya atap membutuhkan waktu yang lebih panjang untuk balik modal. Dengan patokan harga di Permen ESDM No. 49/2018, biaya investasi untuk memasang PLTS Atap baru kembali dalam waktu 12 tahun. Jika menggunakan aturan sebelumnya, 8 tahun sudah balik modal.
Petugas memperbaiki panel surya di atap rumah warga. (Foto: Bikash Karki / AFP)
zoom-in-whitePerbesar
Petugas memperbaiki panel surya di atap rumah warga. (Foto: Bikash Karki / AFP)
Menanggapi hal tersebut, Dirjen Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Rida Mulyana menjelaskan, tujuan utama Permen ESDM No. 49/2018 adalah untuk mendorong masyarakat menggunakan energi terbarukan.
"Karena ini hubungannya penghematan (pengurangan energi fosil). Di sini ketika kita pasang PLTS atap, bukan jualan listrik," kata Rida saat ditemui di Ditjen Ketenagalistrikan, Jakarta, Rabu (28/11).
Rida menambahkan, listrik yang diekspor pengguna PLTS atap akan masuk ke jaringan milik PLN. BUMN kelistrikan itu juga harus mengeluarkan biaya-biaya untuk menyiapkan infrastruktur yang mendukung penggunaan PLTS atap. Maka, harga listrik dari PLTS atap dipotong.
ADVERTISEMENT
“Kalau bangun pembangkit listrik termasuk jaringannya, biaya pembangkitnya itu duapertiga dan transmisinya sepertiga. Sehingga 35 persen buat sewa ke PLN, masa gratis? WC aja bayar Rp 2.000,” ujarnya.
Karena itu, Rida agar meminta besaran tarif listrik dari PLTS atap ini tak diributkan. Ia menegaskan, harga itu sudah diperhitungkan dengan mempertimbangkan kepentingan semua pihak, baik pengguna PLTS atap maupun PLN. “Jadi (harga listrik PLTS atap) yang 65 persen (tarif listrik PLN) itu enggak lah harus jadi isu yang penting,” tutupnya.