Penjelasan PLN soal Pemborosan Rp 275,19 Miliar yang Disebut BPK

19 September 2019 19:21 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Direktur Pengadaan Strategis 2 PT PLN (Persero), Djoko Raharjo Abumanan. Foto: Resya Firmansyah/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Direktur Pengadaan Strategis 2 PT PLN (Persero), Djoko Raharjo Abumanan. Foto: Resya Firmansyah/kumparan
ADVERTISEMENT
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan adanya pemborosan di PT PLN (Persero) senilai Rp 275,19 miliar. Pemborosan ini disebut ada dalam pengelolaan subsidi atau kewajiban pelayanan publik.
ADVERTISEMENT
Dalam Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) I 2019 disebutkan, temuan ini terjadi pada Specific Fuel Consumption (SFC) Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG) Mobile Power Plant (MPP) Batam. Itu dioperasikan dengan bahan bakar High Speed Diesel (HSD), lebih tinggi dibandingkan batas SFC Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) berbahan bakar minyak sebesar Rp 198,69 miliar.
Direktur Pengadaan Strategis 2 PLN Djoko Abumanan mengakui memang ada pemborosan. Kata dia, dalam beberapa kontrak PLTG memang tidak efisien karena bahan bakarnya diganti menjadi HSD.
Dipilihnya HSD lantaran gas yang dibutuhkan sulit dikirim ke pembangkit yang ada, terutama di daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T) lantaran infrastruktur untuk penyaluran gas belum memadai. Kebanyakan pembangkit tersebut berada di wilayah Indonesia timur.
ADVERTISEMENT
"Jadi di beberapa kontrak ditemukan tidak efisien di antaranya mesin pembangkit gas dikasih minum HSD. Itu kan enggak efisien. Cuma kan masalahnya itu gasnya ada tapi yang bawa ke sana enggak ada, akhirnya PLN (pakai HSD)," kata Djoko di Kementerian ESDM, Jakarta, Kamis (19/9).
Adapun besaran nilai pemborosannya sendiri yang mencapai Rp 275,19 miliar, kata Djoko, karena HSD digunakan untuk menggerakkan turbin selama satu tahun.
"Jadi disiasati dengan gasifikasi di midstream itu, salah satunya kan kita punya kontrak LNG dari British Petroleum (BP) Tangguh dan Kilang Bontang tapi yang membawanya ke situ yang (susah)," ucapnya.
Gedung BPK Foto: Ela Nurlaela/kumparan
Sebelumnya, dalam laporan tersebut pemborosan juga terjadi pada PT Indonesia Power/PT IP (anak perusahaan PT PLN) menanggung dampak Take or Pay (ToP) sebesar Rp 36,97 miliar, atas jasa sewa Compressed Natural Gas (CNG) pada Pembangkit Listrik Tambak Lorok. Permasalahan pemborosan lainnya sebesar Rp 39,53 miliar.
ADVERTISEMENT
Selain itu, BPK menyebut, PLN kehilangan kesempatan untuk melakukan penghematan di tahun 2018 lalu. Ini karena pembayaran skema ToP menggunakan proyeksi faktor kesediaan dan klausul pembayaran dengan nilai kurs jual dolar AS pada jual beli listrik Independent Power Producer (IPP), serta pembangkit sewa. Itu menghilangkan kesempatan PT PLN menghemat masing-masing sebesar Rp 676,98 miliar (ekuivalen dengan 2.118.256.289,62 kWh) dan Rp 431,27 miliar (ekuivalen dengan 1.383.317.866,00 kWh) selama 2018.
Nantinya, BPK mengungkap bahwa PLN berpotensi kehilangan kesempatan untuk menurunkan Biaya Pokok Penyediaan (BPP) atas tidak terserapnya batas minimum energi listrik pada IPP dan sewa.
Karena itu, BPK merekomendasikan kepada Direksi PT PLN agar melakukan kajian strategis terkait reserve margin dan Take or Pay atas kWh yang tidak terserap oleh PLN, serta selanjutnya menetapkan batasan reserve margin masing-masing sistem sebagai pedoman penyusunan perencanaan pembangkit.
ADVERTISEMENT