Penyebab BPJS Kesehatan Defisit Rp 9,75 Triliun di 2017

16 Mei 2018 14:47 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Gedung BPJS Kesehatan (Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Gedung BPJS Kesehatan (Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Sepanjang tahun 2017, BPJS Kesehatan mencatatkan pendapatan iuran Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS) mencapai Rp 74,25 triliun. Adapun jumlah peserta JKN-KIS pada tahun lalu sebanyak 187,9 juta jiwa.
ADVERTISEMENT
Meski demikian, total pengeluaran pada tahun lalu mencapai Rp 84 triliun, artinya keuangan BPJS Kesehatan masih mengalami defisit sekitar Rp 9,75 triliun. Di tahun 2016, perusahaan juga mencatatkan defisit sebesar Rp 9,7 triliun.
“Pengeluaran (tahun ini) Rp 84 triliun. Itu yang harus kita bayar tapi jatuh temponya enggak pada tahun yang sama,” ujar Direktur Keuangan dan Investasi BPJS Kesehatan Kemal Imam Santoso saat ditemui di Kantor Pusat BPJS Kesehatan, Jakarta Pusat, Rabu (16/5).
Dia menjelaskan, pengeluaran yang begitu besar itu dikarenakan jumlah masyarakat yang memanfaatkan BPJS Kesehatan untuk berobat semakin banyak, sementara itu jumlah peserta BPJS Kesehatan tak begitu banyak bertambah.
Pemaparan publik  BPJS Kesehatan.  (Foto: Resya Firmansyah/kumparan )
zoom-in-whitePerbesar
Pemaparan publik BPJS Kesehatan. (Foto: Resya Firmansyah/kumparan )
Kemal menyebut, salah satu alasan pendapatan BPJS Kesehatan tak dapat menutup seluruh pengeluaran dikarenakan iuran yang harus dibayarkan lebih murah. Selama ini, pemerintah yang menutup kekurangan BPJS Kesehatan untuk membayar klaim.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan perhitungan Dewan Jaminan Sosial Nasional, Penerima Bantuan Iuran (PBI) semestinya membayar Rp 36.000, namun pemerintah menetapkan melalui Perpres nomor 19 dan 28 tahun 2016 hanya sebesar Rp 23.000.
Sementara untuk Peserta Bukan Penerima Upah (PBPU) kelas III semestinya membayar Rp 53.000, namun pemerintah menetapkan Rp 25.000. Sedangkan untuk iuran kelas II semestinya Rp 63.000, namun saat ini sebesar Rp 51.000.
“Idealnya memang semua ditutup berbasis iuran. Tapi pemerintah tidak ingin membebani masyarakat terlalu jauh,” ucapnya.